TUGAS AKHIR
SEMESTER
SOSIOLOGI HUKUM
SOSIOLOGI HUKUM
RENCANA PEMBANGUNAN TOL LAYANG GILIMANUK-DENPASAR DALAM KONSEP TRI
HITA KARANA MASYARAKAT HINDU-BALI
Oleh:
WINANDA FIKRI PANEMIKO
11150440000011
HUKUM KELUARGA
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap
masyarakat pasti memiliki kebudayaannya masing-masing, dimana kebudayaan
tersebut lama kelamaan membentuk suatu kaidah hukum (norma) dalam bertingkah
laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat adat yang biasa disebut sebagai living
law (hukum yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat). Masyarakat Hindu-Bali
sebagai masyarakat adat, dalam peradabannya juga memiliki konsep norma yang
mengatur kehidupannya dalam peradaban sejak jaman leluhur nenek moyang yang
terkenal dengan konsep Tri Hita Karana, dimana konsep ini menjadi
falsafah hidup yang bertahan hingga kini, meskipun telah terjadi perubahan sosial
dalam masyarakat yang selalu berdinamika, konsep Tri Hita Karana ini tetap
dipertahankan sebagai salah satu ciri atau karakter peradaban.
Konsep Tri
Hita Karana[1]
dalam ajaran filosofis agama Hindu, bagi penulis sendiri memiliki sisi
kemiripan dengan konsep Hablum Minallah, Hablum Minan Naas, Hablum Minal
Alam dalam ajaran filosofis agama Islam. Persamaannya adalah kedua konsep
ini mencoba untuk menjaga keharmonisan antar ketiga unsur alam, yaitu unsur Parahyangan
(Tuhan), Pawongan (manusia) dan Palemahan (lingkungan).[2]
Bagi
masyarakat adat Bali Tri Hita Karana memberikan pengaruh yang besar
dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Pertama, dalam unsur Parahyangan dimulai
dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman ajaran
agama, dan kreativitas berkesenian. Kedua, dalam unsur Pawongan
masyarakat Hindu dengan konsep manyama-braya dan paras-paros sarpanaya
mencoba untuk menggambarkan sifat masyarakat Hindu yang ramah tamah. Ketiga,
dalam unsur Palemahan, dapat kita jumpai sistem irigasi tradisional
yaitu subak. Dengan adanya sinergi dari ketiga unsur ini diharapkan akan
tetap menjaga keseimbangan antara Tuhan, manusia dan lingkungan sekitarnya.
Konsep Tri
Hita Karana ini kemudian dituangkan kedalam rumusan visi pembangunan di
Bali. Hal itu bermakna bahwa semua aktivitas kemasyarakatan di Bali harus
dilandaskan atas dasar prinsip tersebut. Dampaknya, semua Peraturan Daerah
untuk Wilayah Bali harus menyesuaikan dengan konsep Tri Hita Karana.
Misalnya, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Pada pasal 95 ayat (2) yang
menyatakan batas maksimum ketinggian bangunan adalah 15 meter di atas permukaan
bumi.
Maka asal
usul, proses pelembagaan, dan penerapan hukum dalam masayarakat tersebut
menarik untuk dilacak kembali melalui sudut pandang sosiologis. Padahal
berdasarkan fakta historis yang ada, di Bali sudah ada bangunan yang melebihi
15 meter, yaitu Hotel Inna Grand Beach Hotel dengan ketinggian bangunan
mencapai 10 lantai.
Selain itu,
ada sebuah fenomena menarik dalam rencana pembangunan Pemerintah Bali, yaitu
rencana pembangunan Jalan Tol Layang Gilimanuk-Denpasar dengan panjang lintasan
156 km. Adalah ketika terjadi benturan antara kepentingan pemerintah untuk memajukan
wilayah yang sedang berkembang dan kepentingan masyarakat adat untuk mematuhi
norma hukum yang telah dijadikan sebagai aturan dalam kehidupan sehari-hari.
Keadaan seperti ini akan menyebabkan adanya persoalan politik dan budaya, yang
menyebabkan adanya dampak perubahan sosial terhadap hukum di masyarakat. Namun
demikian, masih perlu dipelajari dan diperhatikan secara lebih mendalam
fenomena ini melalui data-data empiris yang beredar di masyarakat.
Karena
penulisan ini lebih memfokuskan pada cara pandang masyarakat terhadap
perkembangan sosial dan teknologi dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah
untuk membangun jalur tol layang di Bali, maka penulisan ini tidak banyak
membahas aspek normatif, melainkan mencoba untuk menganalisis fakta hukum yang
ada dari sudut pandang sosiologi dengan pisau analisis kerangka berpikir
teoritis dari teori Sosiologi yang sudah pernah dipelajari pada mata kuliah
Sosiologi Hukum.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,
maka penulis membuat suatu rumusan masalah dalam penulisan ini, yaitu :
1.
Bagaimana bentuk pengimplementasian konsep Tri Hita Karana
dalam kehidupan masyarakat Bali?
2.
Bagaimana proses pelembagaan konsep hukum adat Tri Hita Karana
menjadi suatu bentuk hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Bali?
3.
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap rencana Pemerintah untuk
membangun jalan tol layang Denpasar-Gilimanuk?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kerangka Teoritis Analitis
Masyarakat Bali
adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai budaya dan agama dalam kehidupan
sehari-harinya. Semua aktivitas kehidupan ini berlandaskan atas nilai falsafah
ajaran Hindu Tri Hita Karana. Dan lama kelamaan nilai-nilai ini tertanam
dalam setiap tingkah laku pergaulan masyarakat Bali, yang kemudian menjadi
sebuah budaya yang harus dilakukan dan seandainya tidak dilakukan akan
menimbulkan cemoohan dari anggota masyarakat lain. Maka, secara tidak langsung
ajaran Tri Hita Karana ini telah menjadi suatu norma hukum di dalam
Masyarakat Bali. Hal ini sesuai dengan pemikiran yang diungkapkan oleh
Montesquieu, bahwa hukum itu merupakan suatu bagian yang integral (tidak
dapat dipisahkan) dari kebudayaan masyarakat.[3]
Tidak hanya itu,
dalam teori sosiologi hukum. Hukum adat yang tidak tertulis dapat menjadi suatu
hukum yang tertulis dengan melalui proses pelembagaan hukum, atau yang lebih
dikenal sebagai reinstitutionalization. [4]
Pemikiran yang dikemukakan oleh Bohannan ini sejalan dengan fakta hukum yang
ada, bahwa ketika konsep Tri Hita Karana yang merupakan kebiasaan
masyarakat Bali ini menjadi landasan visi pembangunan Bali untuk menjaga
keharmonisan antara Tuhan, manusia, dan alam. Maka segala aturan terkait dalam
pengaturan ruang, tata letak, bentuk, serta penggunaan bahan, berpedoman pada
pemikiran hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia
lainnya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Salah satunya dapat kita
lihat pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Pada pasal 95 ayat (2) yang
menyatakan batas maksimum ketinggian bangunan adalah 15 meter di atas permukaan
bumi.
Karena Perda
ini merupakan hasil pelembagaan kembali dari hukum adat, maka sebenarnya dalam
hukum adat, acuan batasan tinggi bangunan adalah tidak dijelaskan secara pasti,
melainkan hanya disebutkan setinggi pohon kelapa. Namun karena tidak adanya
suatu kepastian hukum akan tinggi pohon kelapa tersebut, maka dibuatlah aturan
setinggi 15 meter berdasarkan tinggi rata-rata pohon kelapa. Tentunya, salah
satu tujuan hukum adalah agar adanya suatu kepastian hukum. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa tugas hukum
adalah mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan di dalam
masyarakat.[5]
Alasan dibalik
adanya batasan suatu bangunan di Bali adalah karena masyarakat Bali (mayoritas
beragama Hindu) percaya bahwa bila membuat gedung atau bangunan melebihi tinggi
pohon kelapa, sama saja berarti tidak menghormati Pelinggih (tempat umat
Hindu memuja Tuhan) yang ada. Karena kepercayaan umat Hindu, Tri Hita Karana
(Tiga Penyebab Kebahagiaan) diwujudkan dengan selarasanya hubungan manusia
dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan dengan
lingkungannya (Palemahan). Terkait dengan masalah tinggi gedung atau
bangunan itu, sudah termasuk mengusik konsep Parahyangan karena
masyarakat Bali pada umumnya akan menempatkan Pelinggih di bagian timur
atau utara dari pekarangan rumahnya atau juga ditempat yang lebih tinggi.
Logikanya jika kita membuat bangunan yang tinggi, secara tidak langsung kita
sudah menempatkan diri kita diatas Pelinggih tersebut.[6]
Maka dapat dipastikan, salah satu faktor
terhadap aturan hokum yang muncul adalah, karena adanya kekuatan-kekuatan sosial
yang menginginkan aturan tersebut seperti itu. Bahwa latar belakang lahirnya
suatu hukum diperkaitkan dengan masyarakat luas yang muncul dari kehendak dari
para anggota masyarakat.
Namun, seiring
berkembangnya zaman dan teknologi, kekentalan dari adat dan budaya Bali ini mulai
luntur. Masyarakat yang menjunjung tinggi adat tergerus oleh pesatnya
perkembangan teknologi, terlebih banyaknya wisatawan asing menawarkan budaya
dan isi kantong mereka, sehingga masyarakat yang tadinya tradisonal berkembang
menjadi masyarakat modern. Perubahan sosial ini dapat berasal dari faktor intern
dan ekstern masyarakat itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Roscoe Pound. Di dalam masyarakat modern pelembagaan hukum sudah menggambarkan
isi dari living law, dimana hukum menjadi alat kontrol sosial dari
kekuatan-kekuatan sosial.[7] Hal
ini juga berdampak pada tipologi hukum yang dihasilkan nantinya, yaitu Sociological Jurisprudence, dimana hukum juga berperan sebagai
kontrol social dan harus memiliki manfaat dalam penerapannya.
B.
Karakteristik Masalah/Data
Bali merupakan
salah satu Provinsi di Indonesia yang dikenal memiliki keunikan budaya dan adat
istiadat tersendiri. Dengan luas wilayah 5.636,66 km2 atau 0,29
persen dari luas wilayah Indonesia.[8] Secara
administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi 8 Kabupaten, 1 Kota, 57 Kecamatan,
716 Desa/Kelurahan, 1.488 Desa Pekraman, dan 3.625 Banjar Pekraman dengan
jumlah penduduk 3.890.757 jiwa yang terdiri atas 1.028.171 kepala keluarga.
Kepadatan penduduknya 736,7 jiwa per km2. Rasio jumlah penduduk laki-laki
(1.186.075 jiwa) sedikit lebih banyak dibanding penduduk perempuan (1.156.504
jiwa).
Hampir seluruh
(83,46 persen) masyarakat Bali beragama Hindu. Penduduk non-hindu umumnya warga
pendatang, dan jumlahnya cukup kecil. Selain itu karena Bali juga merupakan
pulau wisata, yang banyak didatangi wisatawan atau investor asing yang datang
dan berlibur atau untuk menginvestasikan dananya di Bali.
Menurut data jenis pekerjaan 3 tahun terakhir di Provinsi Bali, sebagai
berikut :
Jenis
Pekerjaan
|
Tahun
|
||
2014
|
2015
|
2016
|
|
Tenaga
Profesional
|
169.011
|
155.518
|
154.964
|
Tenaga
Kepemimpinan
|
47.177
|
42.069
|
37.338
|
Pejabat
Pelaksana
|
186.065
|
186.023
|
216.958
|
Tenaga
Usaha Penjualan
|
400.421
|
462.455
|
469.352
|
Tenaga
Usaha Jasa
|
180.217
|
216.785
|
191.032
|
Tenaga
Usaha Pertanian
|
533.976
|
511.754
|
502.519
|
Tenaga
Produksi
|
730.344
|
738.379
|
791.376
|
Lainnya
|
26.686
|
11.822
|
53.016
|
Jumlah
|
2.273.897
|
2.324.805
|
2.416.555
|
Sumber :
Bali Dalam Angka 2015-2017[9]
Adapun banyaknya kendaraan bermotor menurut
jenis kendaraan pada tahun 2013.
Jenis
Kendaraan
|
Total
|
Sedan
|
39.844
|
Jeep
|
41.574
|
Minibus
|
214.985
|
Truk
|
6.533
|
Pickup
|
78.720
|
Bis
|
35.217
|
Sepeda Motor
|
2.586.715
|
Lainnya
|
100
|
Jumlah
|
3.003.688
|
Sumber :
Bali Dalam Angka 2014
Berdasarkan fakta yang bersumber dari koran yang ada di Bali.[10]
Penulis menemukan beberapa bangunan yang sangat tidak sesuai dengan konsep
kehidupan masyarakat Bali itu sendiri, yaitu batas minimal 15 meter di atas
pemukaan bumi atau setara 4 lantai. Pertama, Hotel Grand Bali Beach di Sanur,
setinggi 10 lantai, yang dibangun sejak tahun 1966. Kedua, Hotel Grand Nikko di
Nusa Dua yang kalau dihitung sebetulnya punya 14 lantai. Ketiga, New World Grand Bali Resort yang terdiri dari 8 lantai. Belum
ditambahkan lagi dengan jumlah menara pemancar, tiang listrik tegangan tinggi,
mercusuar, menara-menara bangunan keagamaan, dan bangunan-bangunan untuk
keselamatan penerbangan.
Menurut data Badan Lingkungan Hidup Bali, pada tahun 2009 luas lahan
pertanian di Bali 350.713 ha atau sekitar 62 persen dari luas Provinsi Bali.
Dua tahun kemudian luas lahan tahun pertanian jadi 61,35 persen atau 345.807
ha. Pada tahun2012 turun lagi hanya tinggal 207.047 ha atau 36,73 persen dari
luas Provinsi Bali.
Dampak
yang demikian, tentunya menyebabkan tingginya haga tanah di Bali. Berdasarkan riset
Knight Frank dan Elite Havens, harga tanah di Bali mengalami pertumubhan
rata-rata 34 persen dibanding rata-rata kenaikan normal per tahun dalam 10
tahun terakhir sebesar 8 – 16 persen. Yang apabila ditaksirkan berada di
kisaran 10 juta sampai 15 juta rupiah per meter persegi.[11]
C.
Analisis dan Interpretasi
Berdasarkan hal-hal yang telah penulis kemukakan diatas, adalah ada
poin-poin yang akan penulis analisis dan interpretasikan pada bagian penulisan
ini. Mengapa Pemerintah Bali mencoba untuk membangun suatu bentuk peradaban
baru di masyarakat Bali, padahal hal itu menyalahi konsep hukum adat yang telah
dianut oleh masyarakat Hindu-Bali.
Pertama, perlu dipahami kembali sejauhmana bentuk pengimplementasian
konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali. Berdasarkan
temuan penulis tentang jumlah mayoritas masyarakat di Bali yang beragama Hindu
sebesar 83,46 persen dari populasi masyarakat Bali. Dapat penulis jabarkan dari
perspektif sosial budaya dan hukum. Seandainya bila berangkat dari teori yang
dikemukan oleh Von Savigny, bahwa antara hukum dan keaslian serta watak rakyat
terdapat suatu pertalian yang organis.[12] Kecenderungan
masyarakat Hindu-Bali yang menjunjung tinggi adat dan budayanya mampu untuk
memberikan dorongan kekuatan kepada pemerintah untuk menciptakan suatu aturan hukum,
yang sesuai dengan keinginan mereka. Sejalan dengan tipe hukum di Eropa, yang
menghendaki bahwa hokum itu bersumber dari masyarakat. Maka bentuk produk hukum
yang dikeluarkan Pemerintah, misalnya saja Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali Tahun 2009-2029, pasti didasari dengan konsep hidup
masyarakat Hindu-Bali, yaitu Tri Hita Karana
Kedua, seperti yang telah penulis paparkan di dalam kerangka teoritis,
bahwa hukum tidak tertulis dapat menjadi hukum tertulis dengan cara proses
pelembagaan hukum kembali (reinstitutionalization). Dalam hal ini, konsep hukum adat Tri
Hita Karana yang tidak tertulis, tidak memiliki sifat kejelasan dalam
ketentuan hukumnya dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hukumnya. Secara
ideologis, memang benar bagi masyarakat Hindu-Bali tidak diperlukan pelembagaan
hukum ini, karena bagi mereka Tri Hita Karana merupakan harga mati, dan
tidak dapat ditoleransi. Namun, dengan datangnya banyak wisatawan, baik dalam
negeri maupun luar negeri yang merupakan orang asing yang belum mengetahui
tentang konsep hidup masyarakat Hindu-Bali. Maka agar terjaminnya kenyamanan
bagi kedua belah pihak, baik bagi masyarakat Hindu-Bali atau non-masyarakat
Hindu-Bali, diperlukanlah sebuah kepastian hukum sebagai bentuk tenggang rasa
dari orang yang memiliki kepentingan dan orang yang membutuhkan keperluan.
Hal ini dapat terlihat ketika awal mula pembentukan peraturan tentang
batasan tinggi bangunan 15 meter. Sejak awal 1970-an ketinggian bangunan baru
di Bali dibatasi maksimal 15 meter, atau 4 lantai, atau “tidak lebih tinggi
daripada pohon kelapa”. Aturan tersebut berdasarkan rekomendasi dari lembaga
konsultan dari Perancis, SCETO. Maka dari sejarah munculnya batasan 15 meter
Tahun 1970 bahkan hingga ketentuan peraturan yang terbaru, yaitu Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tidak dapat dipungkiri, ada kekuatan dari
eksternal yang ikut serta dalam penentuan batasan 15 meter ini. Maka bukanlah
suatu keheranan apabila ada investor yang ingin mendirikan bangunan berlantai
tidak sedikit, apalagi dengan uang yang tidak sedikit. Pemerintah pasti akan
ikut andil dalam proses pembuatan bangunan itu, kemudian seolah-olah dilupakan
dan tidak pernah terjadi apa-apa
Ketiga, berkembangnya trend teknologi dan budaya asing yang dibawa oleh
turis mancanegara di Bali merupakan fenomena yang menarik, karena diantara
banyak faktor yang lain, faktor-faktor inilah
yang menjadi penyebab utama perubahan sosial yang ada di masyarakat Bali. Ini
bermula ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Bali 50 tahun yang lalu. Ketika itu
Presiden Sukarno menawarkan pembangunan hotel di Bali, pejabat daerah dan tokoh
politik meminta lebih. “Untuk apa membangun hotel, kalau tidak ada airport,
siapa yang datang menginap?” kata Pejabat Gubernur Bali IGP Merta.
Ketika disodorkan pilihan mau airport? Maka tokoh Bali kembali bertanya
untuk apa ada airport jika turis datang tidak hotel?
Akhirnya, Presiden Sukarno yang ibunya adalah orang Bali memberikan Bali
keduanya: hotel dibangun, airpot diperluas. Kehadiran Bali Beach di Sanur
sering dianggap sebagai tonggak awal dari pembangunan pariwisata besar di Bali.[13]
Yang sanpai sekarang, bangunan tua ini masih kokoh berdiri sebagai hotel
tertinggi dan tertua di Indonesia. Namun, ternyata selain hotel ini, terdapat
beberapa hotel lain yang tidak dipulkasikan di masyarakat. Selain itu, bangunan
yang melebihi 15 meter juga tidak menjadi permasalahan bagi masyarakat
Hindu-Bali. Karena mereka lebih berupayan untuk memberi penegasan, bahwa yang
terpenting bagi mereka manfaat yang dirasakan untuk mereka, bukan lagi tentang
kebersamaan dalam masyarakat.
Apalagi melihat fakta bahwa pembatasan ketinggian gedung bangunan 15
meter pasti akan memberi dampak, banyaknya lahan kosong yang setiap tahunnya
selalu mengalami penurunan, karena tanah-tanah ini akan segera digarap untuk
pembangunan, apalagi atas nama “investor”. Tentunya keterbatasan lahan ini
mengakibatkan tinggi harga tanah di Bali melunjak, dan efeknya bagi masyarakat
Bali, adalah hanya sebuah penjual tanah belaka.
Konsekuensi lain selain tingginya harga tanah adalah naiknya kepadatan
lalu lintas. Pembatasan ini menyebababkan pembagunan lebi bersifat ke samping (horizontal) dan tidak ke atas (vertikal). Karena kota menjadi lebih
luas, maka setiap orang menjadi butuh kendaraan untuk pergi bekerja ataupun
melakukan aktivitas lain. Masyarakat pun cenderung memlih kendaraan pribadi
daripada kendaraan umum. Maka, data pembangunan sarana transportasi massa
menjadi sangat diperlukan untuk menganalisis secara sosiologi hukum.
Sebagaimana data yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Kenaikan jumlah
kendaraan rata-rata 6 persen per tahun sejak 2005. Hal ini tidak lain dipicu
karena masyarakat yang tadinya bersifat homogeny dala ruang lingkup
tradisional, namun lama kelamaan mengalamai perubahan sosial akibat
faktor-faktor yang terjadi di lingkungannya, sehingga masyarakat ikut terbawa
arus perubahan tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Emile Durkheim,
bahwa masyrakat tradisonal yang bersifat homogen akan berkembang menjadi
masyarakat heterogen, begitu pula dengan perkembangan hukum yang dianutnya.[14]
Maka, ketika ada sebuah fakta social pembangunan jalan tol layang yang
menghubungkan wilayah selatan Bali, antara Gilimanuk dan Denpasar sejauh 156
km. Untuk keperluan aksesibilitas yang mudah dan manfaat lain yang dapat
dirasakan oleh masyarakat, maka masyarakat mulai mengangkangi keutuhan hukum
adat menjadi tidak seutuhnya. Misalnya saja upacara ngaben yang dulu sudah diusun krama
(masyarakat) sekitar sekarang sudah digantikan dengan kendaraan. Melihat
fakta-fakta tersebut, masyarakat Bali bukanlah masyarakat yang rigid dalam tatacara pelaksanaannya,
selama hal itu memberi kemudahan dan menimbang manfaat yang dirasakan, maka
mereka dapat menerimanya. Inilah ciri dari Masyarakat yang berpola pikir
dinamis. Sesuai dengan teori Hukum seagai Teknologi Sosial yang dikemukakan
oleh Huntington Cairne, yaitu “Law as a
social sciene” bahwa hukum harus bisa menciptakan peraturan yang dapat digunakan
untuk mencapai tujuan sosial.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan yang disajikan dan dianalisis pada bab II, ada
beberapa pemikiran yang dapat disimpulkan.
1.
Bahwa konsep hidup Tri Hita Karana dalam ajaran Hindu, telah berkembang menjadi
pendapat otoritas hukum yang diterapkan kepada masyarakat Bali.
2.
Bentuk pelembagaan hukum dari hukum adat
menjadi hukum positif terlihat dalam pola peraturan yang digunakan oleh
Pemerintah. Misalnya saja dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Pada pasal 95 ayat (2) yang
menyatakan batas maksimum ketinggian bangunan adalah 15 meter di atas permukaan
bumi.
3.
Masyarakat Hindu-Bali telah mengalami
perubahan sosial, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern yang
bedampak kepada perubahan hukum yang ada.
B. Rekomendasi
Melihat adanya bentuk perubahan
sosial yang ada di masyarakat Bali, dan kebutuhan yang mendesak. Sepeti, gejala
lonjakan harga tanah; meningkatnya penjualan tanah terhadap investor: kepadatan
lalu lintas tinggi.
Maka,
penulis merekomendasikan untuk merevisi Perda yang mengatur batas ketinggian 15
meter tersebut, agar tidak terjadi perbenturan antara budaya dan hukum. Win win solution yang dapat diusulkan
adalah dengan pemberian izin bangunan tinggi pada bangunan publik dan atau
daerah tertentu (daerah bisnis). Aturan yang memastikan setiap bangunan tinggi
harus memperhatikan aspek keselamatan, aspek keserasian dengan lingkungan
sekitar, aspek estetika, dan aspek integrasi diharapkan tidak ada lagi
kekhawatiran dari masyarakat akan kesemrawutan, kemacetan, serta hilangnya ciri
khas Bali. Sehinga rencana Pembangunan Jalan Tol tersebut dapat dilakukan dengan
cepat dan baik.