Wednesday, February 21, 2018

Tugas Penelitian Sosiologi Hukum

Standard


TUGAS AKHIR SEMESTER
SOSIOLOGI HUKUM

RENCANA PEMBANGUNAN TOL LAYANG GILIMANUK-DENPASAR DALAM KONSEP TRI HITA KARANA MASYARAKAT HINDU-BALI






Oleh:

WINANDA FIKRI PANEMIKO

11150440000011



HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
                Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaannya masing-masing, dimana kebudayaan tersebut lama kelamaan membentuk suatu kaidah hukum (norma) dalam bertingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat adat yang biasa disebut sebagai living law (hukum yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat). Masyarakat Hindu-Bali sebagai masyarakat adat, dalam peradabannya juga memiliki konsep norma yang mengatur kehidupannya dalam peradaban sejak jaman leluhur nenek moyang yang terkenal dengan konsep Tri Hita Karana, dimana konsep ini menjadi falsafah hidup yang bertahan hingga kini, meskipun telah terjadi perubahan sosial dalam masyarakat yang selalu berdinamika, konsep Tri Hita Karana ini tetap dipertahankan sebagai salah satu ciri atau karakter peradaban.
                Konsep Tri Hita Karana[1] dalam ajaran filosofis agama Hindu, bagi penulis sendiri memiliki sisi kemiripan dengan konsep Hablum Minallah, Hablum Minan Naas, Hablum Minal Alam dalam ajaran filosofis agama Islam. Persamaannya adalah kedua konsep ini mencoba untuk menjaga keharmonisan antar ketiga unsur alam, yaitu unsur Parahyangan (Tuhan), Pawongan (manusia) dan Palemahan (lingkungan).[2]
                Bagi masyarakat adat Bali Tri Hita Karana memberikan pengaruh yang besar dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Pertama, dalam unsur Parahyangan dimulai dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman ajaran agama, dan kreativitas berkesenian. Kedua, dalam unsur Pawongan masyarakat Hindu dengan konsep manyama-braya dan paras-paros sarpanaya mencoba untuk menggambarkan sifat masyarakat Hindu yang ramah tamah. Ketiga, dalam unsur Palemahan, dapat kita jumpai sistem irigasi tradisional yaitu subak. Dengan adanya sinergi dari ketiga unsur ini diharapkan akan tetap menjaga keseimbangan antara Tuhan, manusia dan lingkungan sekitarnya.
                Konsep Tri Hita Karana ini kemudian dituangkan kedalam rumusan visi pembangunan di Bali. Hal itu bermakna bahwa semua aktivitas kemasyarakatan di Bali harus dilandaskan atas dasar prinsip tersebut. Dampaknya, semua Peraturan Daerah untuk Wilayah Bali harus menyesuaikan dengan konsep Tri Hita Karana. Misalnya, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Pada pasal 95 ayat (2) yang menyatakan batas maksimum ketinggian bangunan adalah 15 meter di atas permukaan bumi.
                Maka asal usul, proses pelembagaan, dan penerapan hukum dalam masayarakat tersebut menarik untuk dilacak kembali melalui sudut pandang sosiologis. Padahal berdasarkan fakta historis yang ada, di Bali sudah ada bangunan yang melebihi 15 meter, yaitu Hotel Inna Grand Beach Hotel dengan ketinggian bangunan mencapai 10 lantai.
                Selain itu, ada sebuah fenomena menarik dalam rencana pembangunan Pemerintah Bali, yaitu rencana pembangunan Jalan Tol Layang Gilimanuk-Denpasar dengan panjang lintasan 156 km. Adalah ketika terjadi benturan antara kepentingan pemerintah untuk memajukan wilayah yang sedang berkembang dan kepentingan masyarakat adat untuk mematuhi norma hukum yang telah dijadikan sebagai aturan dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan seperti ini akan menyebabkan adanya persoalan politik dan budaya, yang menyebabkan adanya dampak perubahan sosial terhadap hukum di masyarakat. Namun demikian, masih perlu dipelajari dan diperhatikan secara lebih mendalam fenomena ini melalui data-data empiris yang beredar di masyarakat.
                Karena penulisan ini lebih memfokuskan pada cara pandang masyarakat terhadap perkembangan sosial dan teknologi dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah untuk membangun jalur tol layang di Bali, maka penulisan ini tidak banyak membahas aspek normatif, melainkan mencoba untuk menganalisis fakta hukum yang ada dari sudut pandang sosiologi dengan pisau analisis kerangka berpikir teoritis dari teori Sosiologi yang sudah pernah dipelajari pada mata kuliah Sosiologi Hukum.
B.     Rumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis membuat suatu rumusan masalah dalam penulisan ini, yaitu :
1.      Bagaimana bentuk pengimplementasian konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali?
2.      Bagaimana proses pelembagaan konsep hukum adat Tri Hita Karana menjadi suatu bentuk hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Bali?
3.      Bagaimana persepsi masyarakat terhadap rencana Pemerintah untuk membangun jalan tol layang Denpasar-Gilimanuk?


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Kerangka Teoritis Analitis
                Masyarakat Bali adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai budaya dan agama dalam kehidupan sehari-harinya. Semua aktivitas kehidupan ini berlandaskan atas nilai falsafah ajaran Hindu Tri Hita Karana. Dan lama kelamaan nilai-nilai ini tertanam dalam setiap tingkah laku pergaulan masyarakat Bali, yang kemudian menjadi sebuah budaya yang harus dilakukan dan seandainya tidak dilakukan akan menimbulkan cemoohan dari anggota masyarakat lain. Maka, secara tidak langsung ajaran Tri Hita Karana ini telah menjadi suatu norma hukum di dalam Masyarakat Bali. Hal ini sesuai dengan pemikiran yang diungkapkan oleh Montesquieu, bahwa hukum itu merupakan suatu bagian yang integral (tidak dapat dipisahkan) dari kebudayaan masyarakat.[3]
                Tidak hanya itu, dalam teori sosiologi hukum. Hukum adat yang tidak tertulis dapat menjadi suatu hukum yang tertulis dengan melalui proses pelembagaan hukum, atau yang lebih dikenal sebagai reinstitutionalization. [4] Pemikiran yang dikemukakan oleh Bohannan ini sejalan dengan fakta hukum yang ada, bahwa ketika konsep Tri Hita Karana yang merupakan kebiasaan masyarakat Bali ini menjadi landasan visi pembangunan Bali untuk menjaga keharmonisan antara Tuhan, manusia, dan alam. Maka segala aturan terkait dalam pengaturan ruang, tata letak, bentuk, serta penggunaan bahan, berpedoman pada pemikiran hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Salah satunya dapat kita lihat pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Pada pasal 95 ayat (2) yang menyatakan batas maksimum ketinggian bangunan adalah 15 meter di atas permukaan bumi.
                Karena Perda ini merupakan hasil pelembagaan kembali dari hukum adat, maka sebenarnya dalam hukum adat, acuan batasan tinggi bangunan adalah tidak dijelaskan secara pasti, melainkan hanya disebutkan setinggi pohon kelapa. Namun karena tidak adanya suatu kepastian hukum akan tinggi pohon kelapa tersebut, maka dibuatlah aturan setinggi 15 meter berdasarkan tinggi rata-rata pohon kelapa. Tentunya, salah satu tujuan hukum adalah agar adanya suatu kepastian hukum. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa tugas hukum adalah mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan di dalam masyarakat.[5]
                Alasan dibalik adanya batasan suatu bangunan di Bali adalah karena masyarakat Bali (mayoritas beragama Hindu) percaya bahwa bila membuat gedung atau bangunan melebihi tinggi pohon kelapa, sama saja berarti tidak menghormati Pelinggih (tempat umat Hindu memuja Tuhan) yang ada. Karena kepercayaan umat Hindu, Tri Hita Karana (Tiga Penyebab Kebahagiaan) diwujudkan dengan selarasanya hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan dengan lingkungannya (Palemahan). Terkait dengan masalah tinggi gedung atau bangunan itu, sudah termasuk mengusik konsep Parahyangan karena masyarakat Bali pada umumnya akan menempatkan Pelinggih di bagian timur atau utara dari pekarangan rumahnya atau juga ditempat yang lebih tinggi. Logikanya jika kita membuat bangunan yang tinggi, secara tidak langsung kita sudah menempatkan diri kita diatas Pelinggih tersebut.[6]
Maka dapat dipastikan, salah satu faktor terhadap aturan hokum yang muncul adalah, karena adanya kekuatan-kekuatan sosial yang menginginkan aturan tersebut seperti itu. Bahwa latar belakang lahirnya suatu hukum diperkaitkan dengan masyarakat luas yang muncul dari kehendak dari para anggota masyarakat.
                Namun, seiring berkembangnya zaman dan teknologi, kekentalan dari adat dan budaya Bali ini mulai luntur. Masyarakat yang menjunjung tinggi adat tergerus oleh pesatnya perkembangan teknologi, terlebih banyaknya wisatawan asing menawarkan budaya dan isi kantong mereka, sehingga masyarakat yang tadinya tradisonal berkembang menjadi masyarakat modern. Perubahan sosial ini dapat berasal dari faktor intern dan ekstern masyarakat itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Roscoe Pound. Di dalam masyarakat modern pelembagaan hukum sudah menggambarkan isi dari living law, dimana hukum menjadi alat kontrol sosial dari kekuatan-kekuatan sosial.[7] Hal ini juga berdampak pada tipologi hukum yang dihasilkan nantinya, yaitu Sociological Jurisprudence, dimana hukum juga berperan sebagai kontrol social dan harus memiliki manfaat dalam penerapannya.
B.     Karakteristik Masalah/Data
                Bali merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang dikenal memiliki keunikan budaya dan adat istiadat tersendiri. Dengan luas wilayah 5.636,66 km2 atau 0,29 persen dari luas wilayah Indonesia.[8] Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi 8 Kabupaten, 1 Kota, 57 Kecamatan, 716 Desa/Kelurahan, 1.488 Desa Pekraman, dan 3.625 Banjar Pekraman dengan jumlah penduduk 3.890.757 jiwa yang terdiri atas 1.028.171 kepala keluarga. Kepadatan penduduknya 736,7 jiwa per km2. Rasio jumlah penduduk laki-laki (1.186.075 jiwa) sedikit lebih banyak dibanding penduduk perempuan (1.156.504 jiwa).
                Hampir seluruh (83,46 persen) masyarakat Bali beragama Hindu. Penduduk non-hindu umumnya warga pendatang, dan jumlahnya cukup kecil. Selain itu karena Bali juga merupakan pulau wisata, yang banyak didatangi wisatawan atau investor asing yang datang dan berlibur atau untuk menginvestasikan dananya di Bali.
Menurut data jenis pekerjaan 3 tahun terakhir di Provinsi Bali, sebagai berikut :
Jenis Pekerjaan
Tahun
2014
2015
2016
Tenaga Profesional
169.011
155.518
154.964
Tenaga Kepemimpinan
47.177
42.069
37.338
Pejabat Pelaksana
186.065
186.023
216.958
Tenaga Usaha Penjualan
400.421
462.455
469.352
Tenaga Usaha Jasa
180.217
216.785
191.032
Tenaga Usaha Pertanian
533.976
511.754
502.519
Tenaga Produksi
730.344
738.379
791.376
Lainnya
26.686
11.822
53.016
Jumlah
2.273.897
2.324.805
2.416.555
Sumber : Bali Dalam Angka 2015-2017[9]
Adapun banyaknya kendaraan bermotor menurut jenis kendaraan pada tahun 2013.
Jenis Kendaraan
Total
Sedan
39.844
Jeep
41.574
Minibus
214.985
Truk
6.533
Pickup
78.720
Bis
35.217
Sepeda Motor
2.586.715
Lainnya
100
Jumlah
3.003.688
Sumber : Bali Dalam Angka 2014
                Berdasarkan fakta yang bersumber dari koran yang ada di Bali.[10] Penulis menemukan beberapa bangunan yang sangat tidak sesuai dengan konsep kehidupan masyarakat Bali itu sendiri, yaitu batas minimal 15 meter di atas pemukaan bumi atau setara 4 lantai. Pertama, Hotel Grand Bali Beach di Sanur, setinggi 10 lantai, yang dibangun sejak tahun 1966. Kedua, Hotel Grand Nikko di Nusa Dua yang kalau dihitung sebetulnya punya 14 lantai. Ketiga, New World Grand Bali Resort yang terdiri dari 8 lantai. Belum ditambahkan lagi dengan jumlah menara pemancar, tiang listrik tegangan tinggi, mercusuar, menara-menara bangunan keagamaan, dan bangunan-bangunan untuk keselamatan penerbangan.
                Menurut data Badan Lingkungan Hidup Bali, pada tahun 2009 luas lahan pertanian di Bali 350.713 ha atau sekitar 62 persen dari luas Provinsi Bali. Dua tahun kemudian luas lahan tahun pertanian jadi 61,35 persen atau 345.807 ha. Pada tahun2012 turun lagi hanya tinggal 207.047 ha atau 36,73 persen dari luas Provinsi Bali.
                Dampak yang demikian, tentunya menyebabkan tingginya haga tanah di Bali. Berdasarkan riset Knight Frank dan Elite Havens, harga tanah di Bali mengalami pertumubhan rata-rata 34 persen dibanding rata-rata kenaikan normal per tahun dalam 10 tahun terakhir sebesar 8 – 16 persen. Yang apabila ditaksirkan berada di kisaran 10 juta sampai 15 juta rupiah per meter persegi.[11]
C.     Analisis dan Interpretasi
Berdasarkan hal-hal yang telah penulis kemukakan diatas, adalah ada poin-poin yang akan penulis analisis dan interpretasikan pada bagian penulisan ini. Mengapa Pemerintah Bali mencoba untuk membangun suatu bentuk peradaban baru di masyarakat Bali, padahal hal itu menyalahi konsep hukum adat yang telah dianut oleh masyarakat Hindu-Bali.
Pertama, perlu dipahami kembali sejauhmana bentuk pengimplementasian konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali. Berdasarkan temuan penulis tentang jumlah mayoritas masyarakat di Bali yang beragama Hindu sebesar 83,46 persen dari populasi masyarakat Bali. Dapat penulis jabarkan dari perspektif sosial budaya dan hukum. Seandainya bila berangkat dari teori yang dikemukan oleh Von Savigny, bahwa antara hukum dan keaslian serta watak rakyat terdapat suatu pertalian yang organis.[12] Kecenderungan masyarakat Hindu-Bali yang menjunjung tinggi adat dan budayanya mampu untuk memberikan dorongan kekuatan kepada pemerintah untuk menciptakan suatu aturan hukum, yang sesuai dengan keinginan mereka. Sejalan dengan tipe hukum di Eropa, yang menghendaki bahwa hokum itu bersumber dari masyarakat. Maka bentuk produk hukum yang dikeluarkan Pemerintah, misalnya saja Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, pasti didasari dengan konsep hidup masyarakat Hindu-Bali, yaitu Tri Hita Karana
Kedua, seperti yang telah penulis paparkan di dalam kerangka teoritis, bahwa hukum tidak tertulis dapat menjadi hukum tertulis dengan cara proses pelembagaan hukum kembali (reinstitutionalization). Dalam hal ini, konsep hukum adat Tri Hita Karana yang tidak tertulis, tidak memiliki sifat kejelasan dalam ketentuan hukumnya dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hukumnya. Secara ideologis, memang benar bagi masyarakat Hindu-Bali tidak diperlukan pelembagaan hukum ini, karena bagi mereka Tri Hita Karana merupakan harga mati, dan tidak dapat ditoleransi. Namun, dengan datangnya banyak wisatawan, baik dalam negeri maupun luar negeri yang merupakan orang asing yang belum mengetahui tentang konsep hidup masyarakat Hindu-Bali. Maka agar terjaminnya kenyamanan bagi kedua belah pihak, baik bagi masyarakat Hindu-Bali atau non-masyarakat Hindu-Bali, diperlukanlah sebuah kepastian hukum sebagai bentuk tenggang rasa dari orang yang memiliki kepentingan dan orang yang membutuhkan keperluan.
Hal ini dapat terlihat ketika awal mula pembentukan peraturan tentang batasan tinggi bangunan 15 meter. Sejak awal 1970-an ketinggian bangunan baru di Bali dibatasi maksimal 15 meter, atau 4 lantai, atau “tidak lebih tinggi daripada pohon kelapa”. Aturan tersebut berdasarkan rekomendasi dari lembaga konsultan dari Perancis, SCETO. Maka dari sejarah munculnya batasan 15 meter Tahun 1970 bahkan hingga ketentuan peraturan yang terbaru, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tidak dapat dipungkiri, ada kekuatan dari eksternal yang ikut serta dalam penentuan batasan 15 meter ini. Maka bukanlah suatu keheranan apabila ada investor yang ingin mendirikan bangunan berlantai tidak sedikit, apalagi dengan uang yang tidak sedikit. Pemerintah pasti akan ikut andil dalam proses pembuatan bangunan itu, kemudian seolah-olah dilupakan dan tidak pernah terjadi apa-apa
Ketiga, berkembangnya trend teknologi dan budaya asing yang dibawa oleh turis mancanegara di Bali merupakan fenomena yang menarik, karena diantara banyak faktor yang lain, faktor-faktor inilah yang menjadi penyebab utama perubahan sosial yang ada di masyarakat Bali. Ini bermula ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Bali 50 tahun yang lalu. Ketika itu Presiden Sukarno menawarkan pembangunan hotel di Bali, pejabat daerah dan tokoh politik meminta lebih. “Untuk apa membangun hotel, kalau tidak ada airport, siapa yang datang menginap?” kata Pejabat Gubernur Bali IGP Merta.
Ketika disodorkan pilihan mau airport? Maka tokoh Bali kembali bertanya untuk apa ada airport jika turis datang tidak hotel?
Akhirnya, Presiden Sukarno yang ibunya adalah orang Bali memberikan Bali keduanya: hotel dibangun, airpot diperluas. Kehadiran Bali Beach di Sanur sering dianggap sebagai tonggak awal dari pembangunan pariwisata besar di Bali.[13]
Yang sanpai sekarang, bangunan tua ini masih kokoh berdiri sebagai hotel tertinggi dan tertua di Indonesia. Namun, ternyata selain hotel ini, terdapat beberapa hotel lain yang tidak dipulkasikan di masyarakat. Selain itu, bangunan yang melebihi 15 meter juga tidak menjadi permasalahan bagi masyarakat Hindu-Bali. Karena mereka lebih berupayan untuk memberi penegasan, bahwa yang terpenting bagi mereka manfaat yang dirasakan untuk mereka, bukan lagi tentang kebersamaan dalam masyarakat.
Apalagi melihat fakta bahwa pembatasan ketinggian gedung bangunan 15 meter pasti akan memberi dampak, banyaknya lahan kosong yang setiap tahunnya selalu mengalami penurunan, karena tanah-tanah ini akan segera digarap untuk pembangunan, apalagi atas nama “investor”. Tentunya keterbatasan lahan ini mengakibatkan tinggi harga tanah di Bali melunjak, dan efeknya bagi masyarakat Bali, adalah hanya sebuah penjual tanah belaka.
Konsekuensi lain selain tingginya harga tanah adalah naiknya kepadatan lalu lintas. Pembatasan ini menyebababkan pembagunan lebi bersifat ke samping (horizontal) dan tidak ke atas (vertikal). Karena kota menjadi lebih luas, maka setiap orang menjadi butuh kendaraan untuk pergi bekerja ataupun melakukan aktivitas lain. Masyarakat pun cenderung memlih kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Maka, data pembangunan sarana transportasi massa menjadi sangat diperlukan untuk menganalisis secara sosiologi hukum. Sebagaimana data yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Kenaikan jumlah kendaraan rata-rata 6 persen per tahun sejak 2005. Hal ini tidak lain dipicu karena masyarakat yang tadinya bersifat homogeny dala ruang lingkup tradisional, namun lama kelamaan mengalamai perubahan sosial akibat faktor-faktor yang terjadi di lingkungannya, sehingga masyarakat ikut terbawa arus perubahan tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Emile Durkheim, bahwa masyrakat tradisonal yang bersifat homogen akan berkembang menjadi masyarakat heterogen, begitu pula dengan perkembangan hukum yang dianutnya.[14]
Maka, ketika ada sebuah fakta social pembangunan jalan tol layang yang menghubungkan wilayah selatan Bali, antara Gilimanuk dan Denpasar sejauh 156 km. Untuk keperluan aksesibilitas yang mudah dan manfaat lain yang dapat dirasakan oleh masyarakat, maka masyarakat mulai mengangkangi keutuhan hukum adat menjadi tidak seutuhnya. Misalnya saja upacara ngaben yang dulu sudah diusun krama (masyarakat) sekitar sekarang sudah digantikan dengan kendaraan. Melihat fakta-fakta tersebut, masyarakat Bali bukanlah masyarakat yang rigid dalam tatacara pelaksanaannya, selama hal itu memberi kemudahan dan menimbang manfaat yang dirasakan, maka mereka dapat menerimanya. Inilah ciri dari Masyarakat yang berpola pikir dinamis. Sesuai dengan teori Hukum seagai Teknologi Sosial yang dikemukakan oleh Huntington Cairne, yaitu “Law as a social sciene” bahwa hukum harus bisa menciptakan peraturan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan sosial.[15]



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
                Berdasarkan temuan yang disajikan dan dianalisis pada bab II, ada beberapa pemikiran yang dapat disimpulkan.
1.      Bahwa konsep hidup Tri Hita Karana dalam ajaran Hindu, telah berkembang menjadi pendapat otoritas hukum yang diterapkan kepada masyarakat Bali.
2.      Bentuk pelembagaan hukum dari hukum adat menjadi hukum positif terlihat dalam pola peraturan yang digunakan oleh Pemerintah. Misalnya saja dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Pada pasal 95 ayat (2) yang menyatakan batas maksimum ketinggian bangunan adalah 15 meter di atas permukaan bumi.
3.      Masyarakat Hindu-Bali telah mengalami perubahan sosial, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern yang bedampak kepada perubahan hukum yang ada.
B.      Rekomendasi
                Melihat adanya bentuk perubahan sosial yang ada di masyarakat Bali, dan kebutuhan yang mendesak. Sepeti, gejala lonjakan harga tanah; meningkatnya penjualan tanah terhadap investor: kepadatan lalu lintas tinggi.
                Maka, penulis merekomendasikan untuk merevisi Perda yang mengatur batas ketinggian 15 meter tersebut, agar tidak terjadi perbenturan antara budaya dan hukum. Win win solution yang dapat diusulkan adalah dengan pemberian izin bangunan tinggi pada bangunan publik dan atau daerah tertentu (daerah bisnis). Aturan yang memastikan setiap bangunan tinggi harus memperhatikan aspek keselamatan, aspek keserasian dengan lingkungan sekitar, aspek estetika, dan aspek integrasi diharapkan tidak ada lagi kekhawatiran dari masyarakat akan kesemrawutan, kemacetan, serta hilangnya ciri khas Bali. Sehinga rencana Pembangunan Jalan Tol tersebut dapat dilakukan dengan cepat dan baik.