Tuesday, April 3, 2018

Kumpulan Soal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Tentang Subjek Hukum-Tafsir Akad

Standard

TUGAS KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH
“HASIL DISKUSI BUKU KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH HALAMAN 1-26”

Tugas ingin disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu
AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H



Disusun Oleh Kelompok 7 :
Winanda Fikri Panemiko                                           11150440000011
Muhammad Zaki Mubarok                                        11150440000126
Ilham Andika                                                              11150440000144


PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H


HASIL DISKUSI KHES SUBYEK HUKUM – TAFSIR AKAD
  
      1 .      Pada usia berapa seseorang dapat dikatakan cakap hukum? Mengapa?
Jawaban : Bahwa seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hokum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 tahun atau sudah pernah menikah (Pasal 2 ayat (1) KHES)
      2  .     Apakah jual-beli yang dilakukan anak dibawah 18 tahun sah secara hukum? Mengapa?
Jawaban : Bahwa anak yang berada di bawah 18 tahun atau belum pernah menikah dipandang belum cakap melakukan perbuatan hukum (Pasal 1 ayat (4) KHES). Namun, anak tersebut dapat mengajukan permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum kepada pengadilan (Pasal 3 ayat (1) KHES). Atau pihak keluarga dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menetapkan wali bagi yang bersangkutan (Pasal 5 ayat (1) KHES). Dan dijelaskan juga bahwa Muwalla (orang yang mendapat perwalian) dapat melakukan perbuatan hukum yang menguntungkan dirinya, meskipun tidak mendapat izin wali (Pasal 9 ayat (1) KHES).
      3 .      Apa yang dimaksud pengusahaan benda?
Jawaban : Pengusahaan benda adalah hak seseorang atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk mendayagunakan benda, baik miliknya maupun milik pihak lain. (Pasal 1 ayat (18) KHES).
      4.      Fungsi seorang kurator dalam hal kepailitan adalah sebagai? Terdapat pada pasal?
Jawaban : Kurator merupakan wali bagi badan hukum yang dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berfungsi untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk kepentingan terbaik bagi muwalla (dalam hal ini badan hukum yang pailit) (Pasal 1 ayat (7) KHES).
      5.      Sebutkan wewenang pegngadilan dalam menetapkan perwalian?
Jawaban : Pengadilan berwenang untuk menetapkan pewalian bagi orang yang dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum (Pasal 6 ayat (1) KHES).
Pengadilan berwenang untuk menetapkan orang untuk bertindak sebagai wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (Pasal 6 ayat (2) KHES).
Pengadilan dapat menetapkan orang yang berutang berada dalam perwalian berdasarkan permohonan orang yang berpiutang (Pasal 7 KHES)
Pengadilan berwenang menetapkan pewalian bagi orang yang tindakannya menyebabkan kerugian orang banyak. (Pasal 8 KHES)
     6.      Apa yang dimaksud dengan muwalla? Dalam hal apa saja muwalla dapat melakukan perbuatan hukum?
Jawaban : Muwalla adalah seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum, atau badan usaha yang dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 ayat (6) KHES).
Muwalla dapat melakukan perbuatan hukum yang menguntungkan dirinya, meskipun tidak mendapat izin wali (Pasal 9 ayat (1) KHES).
Muwalla tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang merugikan dirinya, meskipun mendapat izin wali (Pasal 9 ayat (2) KHES).
Keabsahan perbuatan hukum muwalla atas hak kebendaannya yang belum jelas akan menguntungkan dirinya atau merugikan diirnya bergantung pada izin wali (Pasal 9 ayat (3) KHES).
Apabila terjadi perselisihan antara muwalla dengan wali sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), muwalla dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk ditetapkan bahwa yang bersangkutan memiliki kecakapan melakukan perbuatan melakukan hukum (Pasal 9 ayat (4) KHES).
      7 .      Sebut dan jelaskan azas dan prinsip kepemilikan amwal!
Jawaban : Asas pemilkian amwal adalah : Amanah, Infiradiyah, Ijtima’iyah, dan Manfaat.
a.       Amanah, bahwa pemilikian amwal pada dasarnya merupakan titipan dari Allah SWT untuk didayagunakan bagi kepentingan hidup. (Pasal 17 butir (a) KHES)
b.      Infiradiyah, bahwa pemilikan benda pada dasarnya bersifat individual dan penyatuan benda dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha atau korporasi. (Pasal 17 butir (b) KHES)
c.       Ijtima’iyah, bahwa pemilikan benda tidka hanay memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terdapat hak masyarakat. (Pasal 17 butir (c) KHES)
d.      Manfaat, bahwa pemilikan benda pada dasarnya diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit madharat. (Pasal 17 butir (d) KHES)
Prinsip pemilikan amwal adalah sebagai berikut :
a.       Pemilikian yang penuh, menimbulkan adanya kepemilikan manfaat dan tidak dibatasi waktu. (Pasal 19 butir (a) KHES)
b.      Pemilikan yang tidak penuh,, mengharuskan adanya kepemilikan manfaat dan dibatasi waktu. (Pasal 19 butir (b) KHES)
c.       Pemilikan yang penuh tidak bias dihapuskan, tetapi bias dialihkan. (Pasal 19 butir (c) KHES)
d.      Pemilikan syarikat yang tidak penuh sama dengan kepemilikan terpisah tasharrufnya. (Pasal 19 butir (d) KHES)
e.       Pemilikan syarikat yang penuh ditasharrufkan dengan hak dan kewajiban secara proporsional. (Pasal 19 butir (e) KHES)

    8 .      Apa perbedaan akad dengan wa’ad?
Jawaban : Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. (Pasal 20 ayat (1) KHES)
Sedangkan Wa’ad adalah janji yang dilakukan secara sepihak dan tidak berdampak hukum bagi yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
   9. Setelah mempelajari asuransi syariah, apakah definisi asuransi syariah yang terdapat pada KHES telah sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi syariah? Mengapa?
Jawaban : Tidak sesuai, karena dalam Buku II Pasal 20 ayat (26) KHES masih menggunakan konsep asuransi konvensional, karena dalam definisinya masih menggunakan istilah “pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung”. Maka jelas dalam definisi tersebut masih menggunakan konsep transfer of risk bukan share of risk.   
   10.  Mengapa tidak boleh ada paksaan dalam akad?
Jawaban : Karena paksaan mengakibatkan seseorang melakukan perbuatan hukum bukan berdasarkan atas dirinya, sehingga bertentangan dengan persyaratan padal pasal 29 ayat (1) KHES dan termasuk akad yang fasad karena terdapat segi paksaan yang merusak akad tersebut. (Pasal 28 ayat (2) KHES). Dan pemaksaaan yang dapat menyebabkan batalnya akad adalah :
a.       Pemaksa mampu untuk melaksanakannya (Pasal 32 butir (a) KHES)
b.      Pihak yang dipaksa memiliki persangkaan kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang diancamkannya apabila tidak mematuhi perintah memaksa tersebut. (Pasal 32 butir (b) KHES)
c.       Yang diancamkan menekan dengan berat jiwa orang yang diancam. Hal ini tergantung kepada orang perorang  (Pasal 32 butir (c) KHES)
d.      Ancaman akan dilaksanakan secara serta merta  (Pasal 32 butir (d) KHES)
e.       Paksaan bersifat melawan hukum  (Pasal 32 butir (e) KHES)

11.  Hal-hal apa saja yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa dalam akad?
Jawaban : Keadaan memaksa atau darurat adalah keadaan dimana salah satu pihak yang mengadakan akad terhalang untuk melaksanakan prestasinya. (Pasal 40 KHES). Adapun hal-hal yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa adalah sebagi berikut :
a.       Peristiwa yang mneyebabkan terjadinya darurat tersebut tidak terduga oleh para pihak. (Pasal 41 butir (a) KHES)
b.      Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkann kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi. (Pasal 41 butir (b) KHES)
c.       Peristiwa yang menyebabkan darurat tersebut di luar kesalahan pihak yang harus melakukan prestasi. (Pasal 41 butir (c) KHES)
d.      Pihak yang harus melakukan prestasi tidak dalam beriktikad buruk. (Pasal 41 butir (d) KHES)

12.  Apabila perkataan di dalam akad tidak dapat dimengerti oleh pihak yang berakad maka hal apa yang dapat dilakukan adalah?
Jawaban : Sebagaimana ketentuan Pasal 52 KHES bahwa, apabila suatu kata tidak dapat dipahami baik secara tersurat maupun tersirat, maka kata tersebut diabaikan.

Hukum Keluarga Di Brunei Darussalam

Standard


MAKALAH HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM
HUKUM KELUARGA ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Hukum Keluarga di Dunia Islam






Dosen Pengampu:

Kamarusdiana, S.Ag., M.H.

Disusun Oleh :
Winanda Fikri Panemiko                                11150440000011
Helma Suryani                                                11150440000001
Ahmad Fadhillah                                            11150440000049
Yayan                                                              11150440000070
Alawiyah                                                         11150440000061

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki absolut berdasar hukum Islam dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan Penasehat Kesultanan dan beberapa Menteri.[1]
Dalam peraturan perundang-undangannya, Brunei mengalami beberapa kali pembaruan sejak masa penjajahan Inggris sampai pasca kemerdekaan. Pembaruan hukum keluarga Islam terkadang melahirkan perdebatan di kalangan modernis-progresif dan tradisional-konservatif. Pembaruan hukum keluarga setidak-tidaknya berkaitan dengan materi  hukum yang dianggap out of date yang dilakukan dengan metode-metode tertentu agar selaras dengan perubahan zaman, hukum keluarga di Brunei tidak luput dari dinamika reformasi. Hal ini didasarkan pada sebuah asumsi yang menyatakan bahwa hukum keluarga Islam merupakan hukum yang hidup.
 Berdasar pada latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah ditarik sebuah rumusan masalah dengan pokok masalah Bagaimana  Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam. Adapun yang menjadi sub masalahnya adalah Bagaimana Reformasi Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam dan Bagaimana Materi Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam. [2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah konstitusi yang digunakan di Brunei Darussalam?
2.      Bagaimana status hukum Islam di Brunei Darussalam?
3.      Bagaimana hukum keluarga Islam di Brunei Darussalam?


C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang Hukum Islam Di Brunei Darussalam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Tentang Negara Brunei Darussalam
Brunei merdeka dari jajahan Inggris di bawah negara persemakmuran Inggris tanggal 1 Januari 1984. Populasi penduduk Brunei adalah 301.000 yang terdiri dari 70,5% orang Melayu yang umumnya bekerja di pemerintahan dan sipil, orang Cina 16%, dimana 80% nya tidak terakomodasi sebagai warga negara resmi, dan beberapa kelompok lokal seperti orang Iban, Kedayan, Kayan, Kenyah, Kiput, Muru, dan Tutung. Pendatang yang berjumlah 8,2% umumnya sebagai pekerja industri yang berasal dari Inggris 6.000 orang, Asia Selatan 4.200 orang, Gurkha 1.000 orang, Korea, dan Philipina.
Bahasa Melayu menjadi bahasa utama, disertai bahasa Inggris, Cina, Iban, dan belasan dialek daerah yang berjumlah 17 bahasa. Brunei dikenal sebagai salah satu negara terkaya di Asia karena hasil minyakbuminya. Negara Brunei berbentuk monarkhi dengan sistem politik tradisional feodalistik dimana keluarga raja sebagai pemegang pimpinan kerajaan. Kepala Negara disebut Sultan dengan panggilan resmi kenegaraan “Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Yang Dipertuan Negara”. Kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri. Adapun Dewan pembentukan Undang-Undang dijabat oleh Dewan Menteri dan Dewan Legislatif.[3]
Brunei Darussalam merupakan negara yang berdasar pada syari'at Islam. Konstitusi Brunei Darussalam berdasar aliran pada Ahlus Sunnah wal jama’ah dan bermazhab Syafi’i. Hal ini berdampak pada peraturan yang berlaku yang disandarkan pada fiqh Syafi'i di setiap aspeknya.  Namun demikian, dalam beberapa aturan hukumnya yang tidak diatur dalam hukum keluarga, warga Negara Brunei tetap mempunyai hak untuk memilih (takhayyur) atas beberapa mazhab fikih lain selain mazhab Syafi’i.[4]

B.       Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam
Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul Jabbar (1619-1652 M).
Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan :
1.      Bidang kuasa civil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
2.      Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah  adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-UU-an, Pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.
Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara' dirasa tidak begitu jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya menuntut:
1.      Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim setempat.
2.      Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak, dipindah, dan dilanggar selama-lamanya.
Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor  satu dan ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari'ah yang akan mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya.
Untuk seterusnya Mahkamah Syari'ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibdat (khusus) saja. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.
Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam yang dikenal dengan "Muhammadans Marriages and Divorce Enactement." Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut Undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967.
 Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang ini pun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.
Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada perundangan yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang :
1.      Pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)
2.      Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)
3.      Mahkamah Syari'ah (Bagian III pasal 45-96)
4.      Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)
5.      Masjid (Bagian V pasal 123-133)
6.      Perkawinan dan Perceraian (Bagian VI pasal 134-156)
7.      Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)
8.      Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)
9.      Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)
10.  Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204)
Undang-Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-Undang Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya masih sama dengan Undang-Undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage and Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163. [5]
Untuk lebih memberikan wawasan, sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di bawah ini secara umum.
1.        Tahap Pertunangan dan Pembatalan Pertunangan
Dalam tahap ini, sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’ bahwa sebelum proses pernikahan seorang harus melalui tahap pertunangan. UU Negara Brunei Darussalam Majelis Agama Islam dan Mahkamah-mahkamah Kadi melegitimasi proses pertunangan ini ke dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 136. Pasal tersebut menjelaskan bahwa “Barang siapa baik secara lisan atau tulisan, baik secara langsung atau melalui perantaraan orang lain telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam ikatan pertunangan, namun dengan tanpa alasan yang dibenarkan dia memutuskan hubungan pertunangan tersebut, maka jika dia adalah seorang laki-laki maka diwajibkan atasnya membayar ganti rugi sejumlah mas kawin dan biaya-biaya lain yang telah dipersiapkan untuk persediaan pernikahan tersebut.”
Namun jika yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua pembayaran baik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui perkawinan. Hal ini tidak dijelaskan dalam fikih Syafi'i secara eksplisit.[6]
2.        Pendaftaran Nikah
Peraturan perundang-undangan di Brunei, menetapan bahwa yang boleh menjadi pendaftar nikah cerai, selain Kadi Besar dan Kadi-kadi, adalah imam-imam masjid. Hal tersebut disebabkan karena imam-imam itu merupakan juru nikah yang diberi kuasa (tauliyah) oleh Sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam.[7] Sehingga keberadaan mereka menjadi penting sebagai bentuk tertib administrasi pernikahan di Negara tersebut.
Dalam kenyataan yang terjadi, terkadang pernikahan yang telah dilaksanakan tidak didaftarkan. Walaupun demikian, pernikahan yang tidak didaftarkan ini tetap dianggap sah. Pernikahan barulah dianggap tidak sah jika tidak mengikuti hukum mazhab kedua belah pihak. [8]
Aturan mengenai pendaftaran nikah di atas merupakan reformasi hukum keluarga Islam di Brunei, dan juga di Indonesia, yang sifatnya regulatory, karena dengan tidak adanya pendaftaran tersebut tidak tishlahi membuat nikah menjadi batal dan tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran. [9]
Namun, yang perlu dipahami bahwa pendaftaran nikah adalah sebuah bentuk ijtihat istishlahi yang bertujuan untuk menjaga dua bentuk kemaslahatan dari lima kemaslahatan yang ada, yaitu kemaslahatan terhadap keturunan (al-nasl) dan kemaslahatan terhadap harta (al-mal).[10]
3.        Wali Nikah
Adapun mengenai wali nikah, Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan. Di samping itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja atau apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan alasan yang tidak masuk akal.[11]
Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i, dimana seorang wanita yang mau menikah harus mendapatkan izin dari walinya. Demikian pula berlaku di Negara Brunei yang mengharuskan adanya wali dari sebuah pernikahan. Namun, tidak dijelaskan lebih jauh apakah keharusan adanya wali diperuntukkan bagi calon mempelai yang masih gadis saja, atau juga berlaku bagi seorang janda.[12]
4.        Pencatatan Perkawinan
Secara umum, pola administrasi hukum keluarga di Brunei memiliki kesamaan prinsip dengan hukum keluarga yang diterapkan oleh Malaysia. Menurut undang-undang Brunei, orang yang bisa menjadi pencatat perkawinan dan perceraian adalah Kadi Besar, Kadi-kadi, dan imam-iman di setiap masjid yang diberi tauliah (wewenang) oleh Sultan.
Lebih lanjut, terkait dengan pencatatan perkawinan, aturan hukum Brunei menetapkan bahwa hal ini hanya persyaratan administratif. Pernikahan yang tidak mengikuti ketentuan ini, tetap dianggap sah menurut aturan hukum Islam. Perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum mazhab yang dianut oleh kedua belah pihak (pasal 138).[13]
Selanjutnya Pemerintah Brunei juga mewajibkan adanya pencatatan perkawinan dalam jangka waktu 7 hari setelah akad nikah dilaksanakan.
Aturan tersebut dapat kita jumpai dalam Religious Council and Kadis Courts Chap 77, pasal 143 ayat (1) menyatakan : "Dalam jangka waktu tujuh hari setelah melakukan akad nikah para pihak diharuskan melaporkan perkawinan tersebut, yang boleh jadi para pasangan atau wali".
Ayat (2), "Pencatat wajib memeriksa apakah seluruh persyaratan perkawinan sudah terpenuhi sebelum melakukan pencatatan".
Pasal 180 menyatakan, "Seorang yang seharusnya tetapi tidak melaporkan perkawinan atau perceraian kepada pegawai pencatat adalah satu pelanggaran yang dapat mengakibatkan dihukum dengan hukuman penjara atau denda $200".
5.        Perceraian Yang Dilakukan Suami
Mengenai peraturan yang sangat kontroversial di Brunei adalah masalah perceraian. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa iddah. Kecuali telah dibenarkan oleh Kadi yang berkuasa dimana ia tinggal.[14] Kemungkinan Negara Brunei dalam menetapkan masalah ini lebih banyak mengadopsi hukum adat setempat yang mengganggap bahwa kegadisan seorang wanita adalah hak sepenuhnya seorang suami yang akhirnya menetapkan masa iddah bagi istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan badan.[15]
Dalam Undang-Undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi perempuan yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh nikah lagi dengan suaminya yang terdahulu. Kecuali ia kawin dengan laki-laki lain dengan cara yang sah dan bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang sah sesuai dengan undang-undang. Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan talak 1, 2, 3, dengan hukum Islam seorang suami mesti memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada kadi dengan mengikuti hukum Islam. Apabila suaminya rela hendaknya dia mengucapnya cerai. Kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta perceraian kepada kedua belah pihak. [16]
6.        Perceraian dengan Talak Tebus
Di Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak suami tidak menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau di Brunei diistilahkan dengan cerai tebus talak.[17] Kadi akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.[18]
Dalam berbagai kitab fikih klasik ketentuan itu juga dibenarkan yang diistilah dengan khulu’. Hanya saja orang yang berkhulu’ (cerai tebus talak) tidak mengucapkan talaknya kecuali dengan upah, sedangkan orang yang mentalak itu tidak mengambil upah.[19]
7.        Talak Tafwid, Fasakh dan Perceraian Oleh Pengadilan
Selain aturan mengenai cerai talak tebus, di Brunei juga diberlakukan aturan bagi pihak istri untuk berpisah dari suaminya melalui fasilitas fasakh. Fasakh adalah suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Islam. Pernyataan fasakh ini tidak boleh dikeluarkan kecuali pihak istri memberi keterangan di hadapan sekurang-kurangnya dua saksi dan mengangkat sumpah atau menbuat pengakuan. Dan bagi istri yang dicerai dapat mengajukan pemberian penghibur (mut’ah) kepada Kadi yang diserahkan setelah keterangan kedua belah pihak didengar oleh Kadi.[20]
Dari dua fasilitas tersebut di atas, cerai talak tebus dan fasakh. Kedua-duanya mengharuskan pihak istri yang akan berpisah dari suaminya untuk mengeluarkan “biaya” penebusan atas perceraiannya. Hanya saja kalau cerai talak tebus diberikan kepada mantan suami, sedangkan untuk fasakh diberikan kepada Kadi yang menangani perkaranya. Jalur Fasakh dalam al-Umm dibenarkan, disertai dengan beberapa macam sebab dibolehkannya fasakh tersebut, di antaranya:
a)      Laki-lakinya mempunyai penyakit lepra, gila, sopak, atau impoten
b)      Setiap akad nikah yang fasid seperti nikah tanpa wali, nikah hamba laki-laki atau perempuan tanpa izin tuannya.
c)      Murtadnya salah seorang dari suami istri.[21]
8.        Hakam (Abitrator)
Undang-Undang di Brunei juga mengatur mengenai penunjukan seorang hakam (arbitrator). Posisi hakam tersebut dilakukan oleh Kadi untuk menjadi mediator bagi suami dan istri yang menghadapi masalah dalam perkawinan mereka. Apabila Kadi tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, Kadi akan mengangkat dan mengganti hakam yang lain. Demikian pula jika hakam berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi tapi sulit memberi alasan untuk bercerai, maka Kadi akan mengangkat hakam yang lain dan akan memberi otoritas untuk mempengaruhi perceraian. [22]
Sehingga, posisi hakam dalam hal ini sangat menentukan terhadap pernikahan kedua belah pihak. Baik itu dalam keadaan pernikahan tersebut dipertahankan maupun jika kemudian pernikahan tersebut harus diakhiri saat itu juga. Peran hakam, sebagaimana yang terjadi di Negara Brunei, telah pula digambarkan dalam mazhab Syafi’i sebagai kitab rujukan bagi Negara Brunei.[23]
9.        Rujuk
Adanya rujuk adalah sebuah kemungkinan yang diberlakukan dalam Undang-Undang Perkawinan di Brunei yang dinyatakan bahwa dibenarkan untuk rujuk (rojok) setelah dijatuhkannya talak, yaitu apabila setelah jatuh talak satu atau talak dua, jika sebelum masa iddah berakhir. Keharusan “tinggal bersama” hendaknya berdasar atas kerelaan kedua belah pihak dengan syarat tidak melanggar agama, dan selanjutnya kadi harus mendaftarkan kembali sebagai tanda mereka telah resmi sebagai suami istri.[24]
Berdasar atas aturan itu, dapatlah dikatakan bahwa jika terjadi perceraian yang dapat dirujuk namun tidak disampaikan kepada pihak perempuan, maka pihak perempuan tidak berkewajiban untuk “tinggal serumah” hingga ada penyampaian yang datang kepadanya.
Sehingga jika telah jatuh talak, yang masih bisa untuk rujuk kembali, pihak suami menyatakan untuk rujuk dan diterima oleh pihak istri, maka Kadi berhak memerintahkan istri untuk tinggal bersama lagi sebagai layaknya suami istri dan tentunya atas dasar kerelaan pihak istri (Pasal 150 ayat (1)).[25]
10.    Nafkah dan Tanggungan Anak
Pembicaraan nafkah hanya dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk ke dalam ini adalah para istri, anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak di luar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum Muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak di luar nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi Besar.[26]
11.    Surat Kematian
Seorang istri dibenarkan untuk menikah kembali jika suaminya telah meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal dunia atau tidak terdengar beritanya dalam waktu yang lama. Hanya saja kebolehan tersebut hendaknya disertai dengan adanya Surat Kematian Birth and Registration Enactment, namun jika tidak ada, maka seorang Kadi dapat mengeluarkan surat pernyataan kematian tentunya dengan penelitian yang akurat.[27]
Lebih lanjut, seorang istri tidak boleh menikah kembali tanpa surat pernyataan tersebut meskipun telah ada pengesahan dari Pengadilan Tinggi mengenai kematian suaminya.[28] Aturan ketat tersebut merupakan sikap kehati-hatian pemerintah Brunei sehingga tidak mengeluarkan surat pernyataan yang bisa merugikan salah satu pihak serta tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Dalam al-Umm, hanya membicarakan mengenai seorang laki-laki yang mafqud (hilang) dimana asy-Syafi’i berpendapat bahwa apabila suami keluar ke tempat yang tersembunyi, atau tidak diketahui disebabkan hilang akal, atau keluar dan tidak terdengar lagi beritanya, atau dengan kendaraan di laut dan tidak terdengar juga beritanya, atau datang berita bahwa ia terlihat tenggelam tetapi tidak yakin bahwa ia benar-benar tenggelam, maka istri tidak boleh beriddah dan tidak boleh menikah selama-lamanya sampai perempuan tersebut benar-benar yakin akan meninggalnya suaminya tersebut, kemudian dia beriddah dari hari ia diyakini meninggalnya suami dan wanita itu mewarisinya serta tidak perlu beriddah wafat. Hal tersebut merupakan bentuk reformasi hukum pemerintah Brunei yang mencoba mengkondisikan “orang hilang” agar dapat sejalan dengan perubahan zaman.[29]




BAB III 
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut di atas, kiranya dapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 
1.      Hukum Islam di  Brunei  Darussalam mengalami perubahan setelah adanya perjanjian-perjanjian dengan Inggris yang menyebabkan Inggris campur tangan dalam  urusan  kekuasaan  kehakiman, keadilan,  hukum  serta perundang-undangan.                                                                
2.      Pelaksanaan hukum Islam secara khusus diserahkan kepada pemerintah Brunei, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Mahkamah Syari'ah. Negara Brunei Darussalam mengakomodasi hukum Islam, adat, dan Barat tetapi yang sering sekali digunakan adalah hukum Muslim (Islam).    
3.      Pengambilan hukum Islam di Brunei secara utuh dikembangkan dari mazhab Syafi'i  dan  sebagian  besar bersifat regulatory, meskipun demikian ternyata pembaharuan hukum yang bersifat substansial tidak sejalan dengan Syafi'i  sendiri  bahkan  dengan  mazhab  lain  seperti  masalah  iddah  yang  belum  disetubuhi    oleh    suaminya,  kemudian   ganti   rugi   batalnya   perjanjian pertunangan.
4.      Hukum di  Brunei dipengaruhi  oleh  Inggris  melalui  perjanjian-perjanjian, sehingga memungkinkan Inggris untuk campur tangan dan Brunei menjadi pemerintahan yang bergantung pada Inggris. 
B.     Saran
Penulis sadari bahwa, penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik teman-teman sangat dibutuhkan