Sejak dulu, seorang guru selalu dikatikan dengan
julukan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Sayapun sudah mendengar kalimat tersebut
sejak saya memasuki sekolah dasar sekitar 15 tahun yang lalu. Sungguh tinggi rasanya
mendapat julukan tersebut di tengah masyarakat Indonesia sejak dahulu. Guru
begitu dipuji, disenangi, bahkan dihormati di kalangan masyarakat. Saya sebagai
seorang siswa juga amat menghormati profesi guru. Karena guru adalah pembangun
generasi bangsa ini untuk menjadi lebih baik melalui jalan pendidikan. Walaupun
menjadi seorang guru itu tidak mudah dan harus mengemban tugas negara berat,
tetapi masih banyak yang mencita-citakan profesi ini sejak dulu hingga saat
ini. Termasuk juga dengan ratusan ribu guru honorer yang masih tetap setia
mengabdi untuk negeri dengan sejumlah polemik yang dialami.
Guru
honorer adalah guru yang berstatus tidak tetap di sebuah sekolah atau yayasan.
Tugas mereka hampir sama dengan tugas guru pada umumnya. Walaupun dalam mengajar,
guru tetap memiliki jadwal mengajar sesuai dengan SK yang mereka dapatkan,
namun tidak dengan guru honorer yang fleksibel dalam mengajar serta terkadang
mengganti kelas kosong jika guru tetap berhalangan. Tidak banyak perbedaan yang
bisa dilihat dengan mata telanjang. Mungkin perbedaan yang nyata dari guru
honorer dan guru tetap ada pada 3 hal pokok ini, yaitu ‘status’, ‘perlakuan’,
dan ‘kesejahteraan.
Secara
tidak sadar dan kasat mata, memang ada sebuah strata sosial yang tercipta dari
sebuah sekolah. Walaupun tidak saling ejek satu sama lain, tetapi memang ini
tercipta dengan sendirinya oleh mereka. Kasus yang sering terjadi adalah ketika
yang merasa lebih tinggi meminta tolong kepada yang dirasa lebih rendah.
Sialnya, mereka tidak bisa menolak walaupun tak ada imbalan apapun pada
akhirnya. Menurut apa yang pernah saya alami dan tanyakan kepada beberapa guru
honorer, mereka seringkali dimintai bantuan untuk melakukan sesuatu. Parahnya
lagi, guru tetap juga menyuruh guru honorer untuk membuatkan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) mereka. Ada yang dimintai tolong untuk
menggantikan mengajar walau tidak dibayar. Sehingga banyak kasus yang membuat
seorang guru honorer memiliki jadwal mengajar yang lebih dari apa yang
formalnya ditugaskan.
Hal
lainnya adalah tentang kesejahteraan mereka. Di beberapa daerah dan sekolah,
masih banyak guru honorer yang menerima gaji yang tidak humanis di zaman
mentropolis ini. Banyak dari mereka masih tidak menerima gaji sesuai dengan UMR
yaitu hanya sekitar Rp. 250.000 - Rp. 500.000 saja sebulan. Mungkin untuk
memenuhi kebutuhan sebulanpun tidak cukup, belum lagi untuk membeli kuota,
bahan bakar, dan biaya operational untuk mengajar di sekolah sangat jauh dari
kata cukup. Karena gaji juga merupakan salah satu faktor kualitas serta rasa
ikhlas guru dalam mengajar.
Jadi,
setelah perubahan zaman dari dulu hingga kini, dari julukan ‘guru oemar bakri’
pada masa orde baru hingga perjuangan guru honorer, masih banyak PR yang
dimiliki pemerintah untuk mensejahterakan dan mengatasi masalah-masalah guru di
dunia pendidikan. Guru harus lebih dapat perhatian dari pemerintah karena peran
mereka sangat penting untuk membangun bangsa ini. Sebaiknya, guru honorer yang
lebih lama pengabdiannya harus lebih didahulukan untuk diangkat menjadi guru
tetap. Supaya kualitas pendidikan di Indonesia membaik, juga kesejahteraan
mereka yang juga bisa lebih baik. Sehingga sebutan “Pahlawan tanpa tanda jasa”
benar-benar mereka miliki di dalam profesi yang mereka geluti dan banggakan
menjadi seorang guru.
Penulis : Rangga Krisna Saputra (Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Ganesha - Singaraja)
0 Comment:
Post a Comment
Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan