MAKALAH HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM
HUKUM KELUARGA ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM
“Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Hukum Keluarga di Dunia Islam”
Dosen Pengampu:
Kamarusdiana, S.Ag., M.H.
Disusun Oleh :
Winanda
Fikri Panemiko 11150440000011
Helma Suryani 11150440000001
Ahmad Fadhillah 11150440000049
Yayan 11150440000070
Alawiyah 11150440000061
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
M / 1439
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Brunei Darussalam adalah negara yang
memiliki corak pemerintahan monarki
absolut berdasar hukum Islam dengan
Sultan yang menjabat sebagai Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan, merangkap
sebagai Perdana Menteri dan Menteri
Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan
Penasehat Kesultanan dan beberapa
Menteri.[1]
Dalam peraturan perundang-undangannya,
Brunei mengalami beberapa kali pembaruan sejak masa penjajahan Inggris sampai
pasca kemerdekaan. Pembaruan hukum
keluarga Islam
terkadang melahirkan
perdebatan di kalangan modernis-progresif dan tradisional-konservatif. Pembaruan
hukum keluarga setidak-tidaknya berkaitan dengan materi hukum yang dianggap out of date yang dilakukan dengan metode-metode tertentu agar
selaras dengan perubahan zaman, hukum keluarga
di Brunei tidak luput dari dinamika reformasi. Hal ini didasarkan pada
sebuah asumsi yang menyatakan bahwa hukum keluarga Islam merupakan
hukum yang hidup.
Berdasar pada latar belakang
tersebut di atas, maka dapatlah ditarik sebuah
rumusan masalah dengan pokok masalah Bagaimana
Hukum Keluarga Islam
di Brunei Darussalam. Adapun yang menjadi sub masalahnya
adalah Bagaimana Reformasi Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam
dan Bagaimana Materi Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Brunei
Darussalam. [2]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah konstitusi yang digunakan di Brunei Darussalam?
2.
Bagaimana status hukum Islam di Brunei Darussalam?
3.
Bagaimana hukum keluarga Islam di Brunei Darussalam?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk
memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada
masyarakat pada umumnya tentang Hukum Islam Di Brunei Darussalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tentang
Negara Brunei Darussalam
Brunei merdeka
dari jajahan Inggris di bawah negara
persemakmuran Inggris tanggal 1
Januari 1984. Populasi penduduk Brunei adalah 301.000 yang terdiri dari 70,5% orang
Melayu yang umumnya bekerja di pemerintahan dan sipil, orang Cina 16%, dimana
80% nya tidak terakomodasi sebagai warga negara resmi, dan beberapa kelompok
lokal seperti orang Iban, Kedayan, Kayan, Kenyah, Kiput, Muru, dan Tutung.
Pendatang yang berjumlah 8,2% umumnya sebagai pekerja industri yang berasal
dari Inggris 6.000 orang, Asia Selatan 4.200 orang, Gurkha 1.000 orang, Korea,
dan Philipina.
Bahasa Melayu
menjadi bahasa utama, disertai bahasa Inggris, Cina, Iban, dan belasan dialek
daerah yang berjumlah 17 bahasa. Brunei dikenal sebagai salah satu negara terkaya
di Asia karena hasil minyakbuminya. Negara Brunei berbentuk monarkhi dengan
sistem politik tradisional feodalistik dimana keluarga raja sebagai pemegang
pimpinan kerajaan. Kepala Negara disebut Sultan dengan panggilan resmi
kenegaraan “Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Yang Dipertuan
Negara”. Kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri. Adapun Dewan
pembentukan Undang-Undang dijabat oleh Dewan Menteri dan Dewan Legislatif.[3]
Brunei
Darussalam merupakan negara yang berdasar pada syari'at
Islam. Konstitusi Brunei Darussalam berdasar
aliran pada Ahlus Sunnah wal jama’ah dan
bermazhab Syafi’i. Hal ini berdampak pada peraturan
yang berlaku yang disandarkan pada fiqh
Syafi'i
di
setiap aspeknya. Namun demikian, dalam beberapa aturan hukumnya
yang tidak diatur dalam hukum keluarga, warga Negara Brunei tetap mempunyai hak
untuk memilih (takhayyur) atas beberapa mazhab fikih lain selain mazhab Syafi’i.[4]
B.
Hukum
Keluarga Islam di Brunei
Darussalam
Sebelum datangnya
Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam
yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut
sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang
disempurnakan oleh Jalilul Jabbar (1619-1652 M).
Pemberian
kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah
ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan :
1.
Bidang kuasa civil dan jinayah kepada jawatan
kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dari
negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat
persetujuan kerajaan negara mereka.
2.
Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang
melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan
seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes tersebut,
rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili
oleh Mahkamah Tempatan.
Kekuasaan yang
lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian
tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan
dalam urusan per-UU-an, Pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan
kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.
Karena undang-undang
adat dan kedudukan hukum syara' dirasa tidak begitu jelas, kesultanan Brunei
memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya
menuntut:
1.
Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam
diadili oleh hakim-hakim setempat.
2.
Meminta agar adat-adat dan undang-undang
setempat tidak dirombak, dipindah, dan dilanggar selama-lamanya.
Dari kedua petisi
ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan ditindaklanjuti dengan mengembangkan
Mahkamah Syari'ah yang akan mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan
yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah
untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk menyelamatkan
Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya.
Untuk seterusnya
Mahkamah Syari'ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang
berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibdat (khusus) saja.
Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang
Inggris yang berdasarkan Common Law
England.
Peraturan dan
perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun 1912
majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam yang
dikenal dengan "Muhammadans
Marriages and Divorce Enactement." Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya
Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang
telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut
Undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967.
Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang ini pun mengalami
revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta Majelis
Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.
Sebenarnya perundang-undangan
ini, menurut Hooker, didasarkan pada perundangan yang berlaku di negeri
Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi Brunei.
Peraturan ini membuat peraturan tentang :
1.
Pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)
2.
Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)
3.
Mahkamah Syari'ah (Bagian III pasal 45-96)
4.
Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)
5.
Masjid (Bagian V pasal 123-133)
6.
Perkawinan dan Perceraian (Bagian VI pasal
134-156)
7.
Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)
8.
Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)
9.
Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)
10. Perkara Umum
(Bagian X pasal 196-204)
Undang-Undang
Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-Undang Majelis Ugama Islam dan
Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya masih sama dengan Undang-Undang
Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam
undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu
di bawah aturan-aturan Marriage and
Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of Dependent di bagian VII
yang dimulai dari pasal 157-163. [5]
Untuk lebih
memberikan wawasan, sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di bawah ini
secara umum.
1.
Tahap Pertunangan dan Pembatalan Pertunangan
Dalam tahap ini,
sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’ bahwa sebelum proses
pernikahan seorang harus melalui tahap pertunangan. UU Negara Brunei Darussalam
Majelis Agama Islam dan Mahkamah-mahkamah Kadi melegitimasi proses pertunangan
ini ke dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 136. Pasal tersebut menjelaskan
bahwa “Barang siapa baik secara lisan
atau tulisan, baik secara langsung atau melalui perantaraan orang lain telah
mengikatkan diri dengan orang lain dalam ikatan pertunangan, namun dengan tanpa
alasan yang dibenarkan dia memutuskan hubungan pertunangan tersebut, maka jika
dia adalah seorang laki-laki maka diwajibkan atasnya membayar ganti rugi
sejumlah mas kawin dan biaya-biaya lain yang telah dipersiapkan untuk
persediaan pernikahan tersebut.”
Namun jika yang
membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan
harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua
pembayaran baik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui
perkawinan. Hal ini tidak dijelaskan dalam fikih Syafi'i secara eksplisit.[6]
2.
Pendaftaran
Nikah
Peraturan perundang-undangan di Brunei, menetapan bahwa yang boleh
menjadi pendaftar nikah cerai, selain Kadi Besar dan Kadi-kadi, adalah
imam-imam masjid. Hal tersebut disebabkan karena imam-imam itu merupakan
juru nikah yang diberi kuasa (tauliyah) oleh Sultan atau yang diberi
kuasa oleh hukum untuk orang Islam.[7]
Sehingga keberadaan mereka menjadi penting sebagai bentuk tertib administrasi
pernikahan di Negara tersebut.
Dalam kenyataan yang terjadi, terkadang pernikahan yang telah
dilaksanakan tidak didaftarkan. Walaupun demikian, pernikahan yang tidak
didaftarkan ini tetap dianggap sah. Pernikahan barulah dianggap tidak sah jika
tidak mengikuti hukum mazhab kedua belah pihak. [8]
Aturan mengenai pendaftaran nikah di atas merupakan reformasi hukum
keluarga Islam di Brunei, dan juga di Indonesia, yang sifatnya regulatory,
karena dengan tidak adanya pendaftaran tersebut tidak tishlahi membuat
nikah menjadi batal dan tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran. [9]
Namun, yang perlu dipahami bahwa pendaftaran nikah adalah sebuah
bentuk ijtihat istishlahi yang
bertujuan untuk menjaga dua bentuk kemaslahatan dari lima kemaslahatan yang
ada, yaitu kemaslahatan terhadap keturunan (al-nasl) dan kemaslahatan
terhadap harta (al-mal).[10]
3.
Wali
Nikah
Adapun mengenai wali nikah, Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan
sangat diperlukan. Di samping itu,
wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan atau Kadi yang
mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja atau apabila tidak
terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan alasan yang tidak
masuk akal.[11]
Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i, dimana seorang
wanita yang mau menikah harus mendapatkan izin dari walinya. Demikian
pula berlaku di Negara Brunei yang mengharuskan adanya wali dari sebuah
pernikahan. Namun, tidak
dijelaskan lebih jauh apakah keharusan adanya wali diperuntukkan bagi calon
mempelai yang masih gadis saja, atau juga berlaku bagi seorang janda.[12]
4.
Pencatatan Perkawinan
Secara umum, pola administrasi hukum keluarga di Brunei memiliki
kesamaan prinsip dengan hukum keluarga yang diterapkan oleh Malaysia. Menurut
undang-undang Brunei, orang yang bisa menjadi pencatat perkawinan dan
perceraian adalah Kadi Besar, Kadi-kadi, dan imam-iman di setiap masjid yang
diberi tauliah (wewenang) oleh Sultan.
Lebih lanjut, terkait dengan pencatatan perkawinan, aturan hukum
Brunei menetapkan bahwa hal ini hanya persyaratan administratif. Pernikahan
yang tidak mengikuti ketentuan ini, tetap dianggap sah menurut aturan hukum
Islam. Perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum
mazhab yang dianut oleh kedua belah pihak (pasal 138).[13]
Selanjutnya Pemerintah Brunei juga mewajibkan adanya pencatatan
perkawinan dalam jangka waktu 7 hari setelah akad nikah dilaksanakan.
Aturan tersebut dapat kita jumpai dalam Religious Council and Kadis Courts Chap 77, pasal 143 ayat (1)
menyatakan : "Dalam jangka waktu tujuh hari setelah melakukan akad
nikah para pihak diharuskan melaporkan perkawinan tersebut, yang boleh jadi
para pasangan atau wali".
Ayat (2), "Pencatat wajib memeriksa apakah seluruh
persyaratan perkawinan sudah terpenuhi sebelum melakukan pencatatan".
Pasal 180 menyatakan, "Seorang yang seharusnya tetapi tidak
melaporkan perkawinan atau perceraian kepada pegawai pencatat adalah satu
pelanggaran yang dapat mengakibatkan dihukum dengan hukuman penjara atau denda
$200".
5.
Perceraian
Yang Dilakukan Suami
Mengenai peraturan yang sangat kontroversial di Brunei adalah masalah
perceraian. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak
boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu
dalam masa iddah. Kecuali telah dibenarkan oleh Kadi yang berkuasa dimana
ia tinggal.[14] Kemungkinan Negara Brunei dalam menetapkan masalah
ini lebih banyak mengadopsi hukum adat setempat yang mengganggap bahwa
kegadisan seorang wanita adalah hak sepenuhnya seorang suami yang akhirnya
menetapkan masa iddah bagi istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan badan.[15]
Dalam Undang-Undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi perempuan
yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh nikah lagi dengan suaminya
yang terdahulu. Kecuali ia kawin dengan laki-laki lain dengan cara yang
sah dan bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang
sah sesuai dengan undang-undang. Peraturan perceraian Brunei yang lainnya
adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan talak 1, 2, 3,
dengan hukum Islam seorang suami mesti memberitahukan tentang perceraiannya
kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika seorang perempuan
yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada
kadi dengan mengikuti hukum Islam. Apabila
suaminya rela hendaknya dia
mengucapnya cerai. Kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan
akta perceraian kepada kedua belah pihak. [16]
6.
Perceraian dengan Talak Tebus
Di Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak
suami tidak menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua
belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau di Brunei diistilahkan
dengan cerai tebus talak.[17]
Kadi akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua
belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.[18]
Dalam berbagai kitab fikih klasik ketentuan itu juga dibenarkan
yang diistilah dengan khulu’. Hanya
saja orang yang berkhulu’ (cerai
tebus talak) tidak mengucapkan talaknya kecuali dengan upah, sedangkan
orang yang mentalak itu tidak mengambil upah.[19]
7.
Talak
Tafwid, Fasakh dan Perceraian Oleh Pengadilan
Selain aturan mengenai cerai talak tebus, di Brunei juga
diberlakukan aturan bagi pihak istri untuk berpisah dari suaminya
melalui fasilitas fasakh. Fasakh adalah suatu
pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Islam. Pernyataan
fasakh ini tidak boleh dikeluarkan kecuali pihak istri memberi
keterangan di hadapan sekurang-kurangnya dua saksi dan mengangkat sumpah
atau menbuat pengakuan. Dan bagi istri
yang dicerai dapat mengajukan pemberian penghibur (mut’ah) kepada
Kadi yang diserahkan setelah keterangan kedua belah pihak didengar oleh
Kadi.[20]
Dari dua fasilitas tersebut di atas, cerai talak tebus dan
fasakh. Kedua-duanya mengharuskan
pihak istri yang akan berpisah dari suaminya untuk mengeluarkan “biaya”
penebusan atas perceraiannya. Hanya saja kalau cerai talak
tebus diberikan
kepada mantan suami, sedangkan untuk fasakh diberikan kepada Kadi yang
menangani perkaranya. Jalur Fasakh dalam al-Umm dibenarkan, disertai
dengan beberapa macam sebab dibolehkannya fasakh tersebut, di antaranya:
a)
Laki-lakinya
mempunyai penyakit lepra, gila, sopak, atau impoten
b)
Setiap
akad nikah yang fasid seperti nikah tanpa wali, nikah hamba laki-laki atau
perempuan tanpa izin tuannya.
c)
Murtadnya
salah seorang dari suami istri.[21]
8.
Hakam
(Abitrator)
Undang-Undang di
Brunei juga mengatur mengenai penunjukan seorang hakam (arbitrator).
Posisi hakam tersebut dilakukan oleh Kadi untuk menjadi mediator bagi
suami dan istri yang menghadapi masalah dalam perkawinan mereka. Apabila
Kadi tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, Kadi akan
mengangkat dan mengganti hakam yang lain. Demikian pula jika hakam
berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi tapi sulit
memberi alasan untuk bercerai, maka Kadi akan mengangkat hakam yang lain
dan akan memberi otoritas untuk mempengaruhi perceraian. [22]
Sehingga, posisi hakam dalam hal ini sangat menentukan terhadap
pernikahan kedua belah pihak. Baik itu dalam keadaan pernikahan tersebut
dipertahankan maupun jika kemudian pernikahan tersebut harus diakhiri saat itu
juga. Peran hakam, sebagaimana yang terjadi di Negara Brunei, telah pula
digambarkan dalam mazhab Syafi’i sebagai
kitab rujukan bagi Negara Brunei.[23]
9.
Rujuk
Adanya rujuk adalah sebuah kemungkinan yang diberlakukan dalam Undang-Undang
Perkawinan di Brunei yang dinyatakan bahwa dibenarkan untuk rujuk (rojok)
setelah dijatuhkannya talak, yaitu apabila setelah jatuh talak satu atau
talak dua, jika sebelum masa iddah berakhir. Keharusan “tinggal bersama”
hendaknya berdasar atas kerelaan kedua belah pihak dengan syarat tidak
melanggar agama, dan selanjutnya kadi harus mendaftarkan kembali sebagai
tanda mereka telah resmi sebagai suami istri.[24]
Berdasar atas aturan itu, dapatlah dikatakan bahwa jika terjadi perceraian
yang dapat dirujuk namun tidak disampaikan kepada pihak perempuan, maka
pihak perempuan tidak berkewajiban untuk “tinggal serumah” hingga ada
penyampaian yang datang kepadanya.
Sehingga jika telah jatuh talak, yang masih bisa untuk rujuk
kembali, pihak suami menyatakan untuk rujuk dan diterima oleh pihak
istri, maka Kadi berhak memerintahkan istri untuk tinggal bersama lagi
sebagai layaknya suami istri dan tentunya atas dasar kerelaan pihak istri (Pasal 150 ayat (1)).[25]
10.
Nafkah dan Tanggungan Anak
Pembicaraan nafkah hanya
dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam
terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk ke dalam ini adalah
para istri, anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu
membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak di luar nikah. Tiga
syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum Muslim yang dalam
hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak di luar nikah, Mahkamah
Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa
dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi Besar.[26]
11.
Surat
Kematian
Seorang istri dibenarkan untuk menikah kembali jika suaminya telah
meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal dunia atau tidak terdengar
beritanya dalam waktu yang lama. Hanya saja kebolehan tersebut hendaknya
disertai dengan adanya Surat Kematian Birth and Registration Enactment,
namun jika tidak ada, maka seorang Kadi dapat mengeluarkan surat pernyataan
kematian tentunya dengan penelitian yang akurat.[27]
Lebih lanjut, seorang istri tidak boleh menikah kembali tanpa surat
pernyataan tersebut meskipun telah ada pengesahan dari Pengadilan Tinggi
mengenai kematian suaminya.[28]
Aturan ketat tersebut merupakan sikap kehati-hatian pemerintah Brunei sehingga
tidak mengeluarkan surat pernyataan yang bisa merugikan salah satu pihak serta
tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Dalam al-Umm, hanya membicarakan mengenai seorang laki-laki yang mafqud
(hilang) dimana asy-Syafi’i berpendapat bahwa apabila suami keluar ke tempat yang
tersembunyi, atau tidak diketahui disebabkan hilang akal, atau keluar dan tidak
terdengar lagi beritanya, atau dengan kendaraan di laut dan tidak terdengar
juga beritanya, atau datang berita bahwa ia terlihat tenggelam tetapi tidak
yakin bahwa ia benar-benar tenggelam, maka istri tidak boleh beriddah dan tidak
boleh menikah selama-lamanya sampai perempuan tersebut benar-benar yakin akan
meninggalnya suaminya tersebut, kemudian dia beriddah dari hari ia diyakini
meninggalnya suami dan wanita itu mewarisinya serta tidak perlu beriddah wafat.
Hal tersebut merupakan bentuk reformasi hukum pemerintah Brunei yang mencoba
mengkondisikan “orang hilang” agar dapat sejalan dengan perubahan zaman.[29]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut
di atas, kiranya dapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum Islam di Brunei
Darussalam mengalami perubahan setelah adanya perjanjian-perjanjian
dengan Inggris yang menyebabkan Inggris campur tangan dalam urusan
kekuasaan kehakiman,
keadilan, hukum serta perundang-undangan.
2. Pelaksanaan hukum Islam secara khusus
diserahkan kepada pemerintah Brunei, yang kemudian dilanjutkan dengan
pembentukan Mahkamah Syari'ah. Negara Brunei Darussalam mengakomodasi hukum
Islam, adat, dan Barat tetapi yang sering sekali digunakan adalah hukum Muslim
(Islam).
3. Pengambilan hukum Islam di Brunei secara
utuh dikembangkan dari mazhab Syafi'i
dan sebagian besar bersifat regulatory, meskipun demikian ternyata
pembaharuan hukum yang bersifat substansial tidak sejalan dengan Syafi'i sendiri
bahkan dengan mazhab
lain seperti masalah
iddah yang belum
disetubuhi oleh suaminya,
kemudian ganti rugi
batalnya perjanjian pertunangan.
4. Hukum di
Brunei dipengaruhi oleh Inggris
melalui perjanjian-perjanjian,
sehingga memungkinkan Inggris untuk campur tangan dan Brunei menjadi
pemerintahan yang bergantung pada Inggris.
B.
Saran
Penulis sadari
bahwa, penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
saran dan kritik teman-teman sangat dibutuhkan
DAFTAR PUSTAKA
Cahyani,
A. Intan. Hukum Keluarga Islam Di Brunei
Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
Fairuzzabady, Mohammad. Hukum
Islam di Dunia Islam Modern.
Ghofur, Abdul. Islam dan Politik
di Brunei Darussalam (Suatu Tinjauan Sosio-Historis). Jurnal Toleransi :
Media Komunikasi Umat Beragama, Vol.7 No.1 Januari-Juni 2015.
Mustika,
Dian. Pencatatan Perkawinan Dalam
Undang-Undang Hukum Keluarga di Dunia Islam. Jurnal Marriage Registration, Family Law, Islamic World.
Zaelani, Abdul Qadir. Hukum
Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, Bandar Lampung : Anugrah Utama
Raharja (AURA), 2013
[1] Abd.
Ghofur. Islam dan Politik di Brunei
Darussalam (Suatu Tinjauan Sosio-Historis). Jurnal Toleransi : Media
Komunikasi Umat Beragama, Vol.7 No.1 Januari-Juni 2015. h., 53.
[2] A. Intan Cahyani, Hukum
Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
148.
[3] A. Intan Cahyani, Hukum
Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
149.
[5] Abdul
Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara
Muslim Modern, (Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,.
16-17.
[6] Abdul
Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di
Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja
(AURA), 2013), h,. 18-19.
[9] Abdul Qadir Zaelani, Hukum
Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung : Anugrah Utama
Raharja (AURA), 2013), h,. 19.
[10] A.
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal
Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h., 154.
[12] A.
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal
Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h., 155.
[13] Dian Mustika, Pencatatan
Perkawinan Dalam Undang-Undang Hukum Keluarga di Dunia Islam. Jurnal Marriage Registration,
Family Law, Islamic World, h., 63.
[15] A.
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal
Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h., 156.
[16] Abdul Qadir Zaelani, Hukum
Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung : Anugrah Utama
Raharja (AURA), 2013), h,. 20.
[18] Abdul Qadir Zaelani, Hukum
Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung : Anugrah Utama
Raharja (AURA), 2013), h,. 21.
[19] A.
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal
Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h., 157.
[21] A.
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal
Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h., 157.
[23] A.
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal
Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h., 157-158.
[25] A. Intan Cahyani, Hukum
Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
156.
[26] Abdul Qadir Zaelani, Hukum
Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja
(AURA), 2013), h,. 22.
[29] A. Intan Cahyani, Hukum
Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
153-159.
0 Comment:
Post a Comment
Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan