Sunday, November 25, 2018

Hukum Keluarga di Dunia Islam : Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Mesir, Arab Saudi, Singapura, dan Tunisia

Standard

1.      Bagaimana perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Mesir.
Jawab :
a.      Indonesia
Dalam hukum keluarga di Indonesia perkawinan mendapatkan perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum perkawinan Indonesia merupakan penjabaran hukum perkawinan dalam Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan.[1]
Secara historis, perkembangan hukum keluarga Islam dapat dibagi menjadi 3 fase :
1)      Perkembangan dan Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Pra Penjajahan
Pada masa ini hukum Islam terutama hukum keluarga sudah menjadi hukum yang berkembang dan menyatu dalam keseharian umat Islam pada waktu itu. Hal ini dapat dilihat dari fakta sejarah Kerajaan Banjar waktu itu.
Perkembangan hukum Islam di Banjar semakin pesat terasa dengan keberadaan para mufti dan qadhi yang bertugas sebagai penasehat kerajaan dalam bidang agama dalam menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum keluarga dan perkawinan dari rakyat yang berada di bawah pemerintahan kerajaan Banjar.[2]
2)      Perkembangan dan Pembaharuan Hukum Keluarga Islam pada Masa Penjajahan

a.       Masa Penjajahan Belanda
Di masa penjajahan Belanda hukum perkawinan yang berlaku adalah Compendium Freijer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum Perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Sementara untuk Landraad di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri. Sedang untuk daerah Makassar oleh VOC disahkan suatu Compendium sendiri. Pada masa ini hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat.
Selanjutnya, muncul Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat (Ontwerp Ordonantie op de Ingeschreven Huwelijken) bulan Juni tahun 1937, yang memberikan konsekwensi hukum pada warga pribumi sebagai berikut:
·         Seorang laki-laki tidak diperkenankan menikah dengan lebih dari satu orang isteri.
·         Sebuah hubungan perkawinan tidak dapat putus kecuali dengan tiga sebab; meninggalnya salah satu pasangan, perginya salah satu pasangan selama dua tahun lebih dan tidak diketahui kabar tentangnya sementara pasangan lainnya mengadakan perkawinan lagi dengan orang lain atas ijin pengadilan, dan adanya putusan perceraian dari pengadilan.
·         Setiap perkawinan harus dicatatkan dalam catatan sipil.
Adanya Ordonasi beserta tiga konsekwensinya di atas memunculkan banyak protes dari masyarakat, khususnya umat islam, karena mempunyai konsekwensi yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
b.      Masa Penjajahan Jepang
Kebijakan Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya. Kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 undang-undang bala tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya terdapat perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.[3]
3)      Masa Pasca Kemerdekaan
Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di antaranya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Kemudian muncul Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka telah terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) tidak berlaku lagi.[4]
Ditambah lagi dengan mencuat kepermukaan bermula dari diakuinya peradilan agama (PA) secara resmi sebagai salah satu pelaksana “judicial power” dalam negara hukum melalui Pasal 10 UndangUndang No. 14 Tahun 1970. Lebih lanjut, kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisatorisnya telah diatur dan dijabarkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yang mempunyai kewenangan mengadili perkara tertentu: (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan (9) ekonomi syari’ah, bagi penduduk yang beragama Islam.[5]

b.      Malaysia
Di Malaysia, Islam dinyatakan sebagai agama resmi, namun demikian Negara menjamin bahwa setiap kelompok agama berhak mengurusi masalahnya sendiri. Apabila orang non-Islam dilindungi secara konstitusional dan legal, maka muslim berada dibawah hukum Islam, dimana Sultan yang mengurus kepentingan mereka dan pengadilan agama digunakan untuk mengawasi agama tersebut.Teks pasal yang berkenaan dengan ini menyebutkan:
Hukum Islam serta hukum pribadi dan keluarga dari orang-orang beragama Islam, termasuk hukum Islam yang berkenaan dengan warisan, ada tidaknya warisan, pertunangan, perkawinan, perceraian, perwalian, pemberian, pembagian harta benda dan barang-barang yang dipercayakan, wakaf Islam, penentuan dan pengaturan dana sosial dan agama, penunjukan wali dan pelembagaan orang-orang berkenaan dengan lembaga-lembaga agama dan sosial Islam yang seluruhnya beroperasi di dalam negara, adat Melayu, zakat fitrah, dan baitul mal atau pendapatan Islam yang serupa dengan itu.
Jadi dalam situasi ini Islam adalah agama negara sedangkan hukum Islam mengatur tingkah laku orang-orang yang beriman, namun secara konstitusional kelompok agama lain juga diberi kebebasan untuk melaksanakan agama mereka menurut kehendak mereka. Mayoritas muslim di Malaysia adalah pengikut madzab Syafi’i, hal ini lebih jelas lagi dalam praktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran madzab tersebut. Walau demikian dalam realitasnya penentuan praktek hukum Islam ini harus atas kendali SultanSultan yang memimpinnya mengingat Semenanjung Malaysia pada waktu itu memang dikuasai beberapa kerajaan Islam yang dipimpin langsung oleh Sultan seperti di kerajaan Johor, Malaka, Kelantan dan Trengganu.
Selama penjajahan Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum Islam seperti pengadila syari’ah tentang perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Keadaan seperti ini berlanjut sampai Malaysia meraih kemerdekaannya. Setelah dapat melepaskan diri dari Inggris dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah banyak usaha untukmerespon masyarakat untuk membuat Undang-Undang Hukum Keluarga seperti di Negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi UU Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya seperti Kedah, Malaka, Negeri Sembilan, Penang, Perlak, Perlis dan Selangor dengan administrasi UU hukum muslim. Begitu juga di negara bagian Serawak dan Sabah di mana muslim minoritas, tetap memberlakukan UU Mahkamah Melayu 1915.
Selama tahun 1983-1985 terjadi usaha untuk menyegarkan legislasi di Malaysia dalam bidang Hukum Keluarga yang diterapkan di beberapa negara bagian. Undang-undang Hukum Keluarga Islam 1984 ini berisi 135 pasal yang terbagi dalam 10 bagian.12 Usaha penyeragaman UU Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan yang diketuai oleh Tengku Zaid. Tugas komite ini adalah membuat draf UU Keluarga Islam. Setelah mendapat persetujuan dari majelis raja-raja, draf ini disebarkan kepada negara bagian untuk dipakai sebagai UU Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan UU tersebut. Kelantan Misalnya melakukan perbaikan atas draf. Akibatnya UU Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak seragam sampai sekarang.
Perbedaan di atas bisa saja diakibatkan masing-masing negara bagian mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan UU-nya. Bagi Perlak, Selangor, Negeri Sembilan dan Akta Wilayah pembentukan UU perkawinan daerah ini bertujuan untuk menguba beberapa hal di bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, maka pembentukan di sini hanya mengubah sebagian saja. Sedangkan UU keluarga bertujuan untuk menyatukan UU yang berkaitan dengan keluarga Islam dalam berbagai bidang dan perkara supaya menjadi lebih mengikat.
Berarti UU ini bertujuan untuk membuat suatu peraturan yang komprehensif dan agar UU tersebut dipatuhi dan diikuti. Sementara Kelantan selain untuk penyatuan juga untuk meperbaharui UU yang ada. Akhirnya tujuan pembentukan Perundangan di bidang perkawinan di Malaysia adalah untuk meninggikan status wanita dan mengubah peraturan hukum syari’ah mengenai keluarga.[6]
c.       Brunei Darussalam
Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul Jabbar (1619-1652 M).
Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan :
1)      Bidang kuasa civil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
2)      Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah  adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-UU-an, Pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.
Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara' dirasa tidak begitu jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya menuntut:
1)      Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim setempat.
2)      Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak, dipindah, dan dilanggar selama-lamanya.
Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor  satu dan ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari'ah yang akan mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya.
Untuk seterusnya Mahkamah Syari'ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadat (khusus) saja. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.
Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam yang dikenal dengan "Muhammadan’s Marriages and Divorce Enactement." Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut Undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967.
 Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang ini pun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.
Undang-Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-Undang Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya masih sama dengan Undang-Undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage and Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163. [7]
d.      Mesir
Kodifikasi dan pembaruan hukum keluarga terjadi di Mesir pada tahun 1920. Ini ditandai dengan diundangkannya UU No 25/1920 mengenai hukum keluarga dan penjagaan (Law of Maintenance and Personal Status/ Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyyah wa al-siyanah). Reformasi hukum di Mesir ini terus terjadi secara berkelanjutan sehingga awal tahun 1950an. Lembaga hukum di Mesir secara bertahap melakukan reformasi hukum yang berpengaruh penting terhadap hukum keluarga (perkawinan dan waris). UU no 25 Tahun 1920 ini kemudian diikuti oleh undang-undang lain seperti UU No. 56/1923 mengenai batasan usia perkawinan, UU no. 25/1929 mengenai aturan perceraian dan pertengkaran dalam rumah tangga, disusul oleh kitab undang-undang sipil/perdata (civil code) tahun 1931, UU no. 77/1943 mengenai hukum waris, dan UU no 71/1946 mengenai hukum wasiat. Setelah itu, kurun waktu 1960an sampai 1970an, berbagai peristiwa politik juga ikut menentukan terjadinya reformasi hukum keluarga. Reformasi hukum keluarga pada tahun 1970an ditandai dengan dikeluarkannya aturan undang-undang mengenai kewenangan kepada lembaga peradilan memaksa fihak-fihak (suami) untuk membayar uang pemeliharaan kepada isteri-isteri, janda-janda, anak-anak, ataupun orang tua pada tahun 1976.[8]
2.      Kenapa dalam hukum perkawinan mesti ada ketentuan umur menikah dan kenapa berbeda usia perkawinan antar Negara?
Jawab:
Mark E. Cammack mengutarakan masalah pengaturan usia minimal kawin merupakan bagian dari tujuan Pemerintah untuk mengurangi problem-problem perkawinan seperti pernikahan di bawah umur yang menghambat kemajuan negara. Selain itu, proyek unifikasi hukum perkawinan ditujukan untuk persatuan Indonesia ber-ideologi Pancasila, sekaligus untuk memenuhi tuntutan kemodernan sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara lain.
Pada tahap selanjutnya dapat diketahui bahwa unifikasi hukum keluarga Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh paham uniformisme yang berkembang pada saat itu. Paham ini banyak dipegang oleh elite Pemerintahan sebagai alasan penyatuan peraturan perkawinan secara nasional, karena sesuai dengan cita-cita ideal negara merdeka.
Paham uniformisme bagian dari respons terhadap kemerdekaan dan tuntutan modernitas, mengingat negara Indonesia menganut sistem hukum civil law, bukan negara agama. Dengan demikian, hukum perkawinan khususnya pengaturan usia minimal kawin menjadi unsur penting untuk pembangunan sistem hukum dan pembangunan generasi ke depannya, terlebih lagi untuk memuluskan proyek negarauntuk membawa masyarakat menuju bangsa modern, berbudaya, sesuai dengan semangat Pancasila sebagai ideologi negara.
Pengaturan masalah usia minimal kawin yang tercantum dalam UndangUndang Perkawinan merepresentasikan jalinan kohesif antara kepentingan negara dan agama. Usia minimal kawin awalnya tidak terlembaga, kemudian muncul dalam bentuk baru berupa peraturan yang harus disepakati secara nasional, bahkan menjadi syarat perkawinan menurut negara.
Rencana awal penetapan batas usia minimal kawin bagi para pasangan tertera pada Pasal 7 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973. Dalam RUU tersebut dinyatakan batas minimal usia kawin adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan.29 Namun demikian, karena RUU ini menuai perdebatan yang rawan dengan konflik,30 akhirnya pembahasan mengenai hal ini ditunda.
Gejolak dan potensi konflik berakhir setelah diresmikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Standar usia minimal kawin sebagaimanatercantum pada Pasal 7 ayat (1), pada akhirnya diturunkan dari 21 tahun menjadi 19 tahun bagi laki-laki.31 Negara menetapkan peraturan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Jika terdapat penyimpangan di bawah ketentuan, maka masyarakat berhak mengajukan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang berkepentingan.32 Artinya, ketentuan usia minimal kawin dalam RUU Perkawinan 1973 diubah oleh Undang-Undang Perkawinan yang disahkan Tahun 1974.[9]
Dalam beberapa kasus di  berbagai negara, tidak semua perkawinan.  Batas  usia perkawinan sesuai dengan batas  usia perkawinan tidak selamanya konsisten dengan realitas masyarakat, artinya banyak  kasus perkawinan di bawah  usia perkawinan  sebagaimana yang telah disepakati di setiap  negara.
Dapat dipahami bahwa penerapan  usia  perkawinan di berbagai negara bervariasi.  bahkan di sebagian negara memberlakukan  usia perkawinan tidak sesuai dengan batasan  usia normal perkawinan sebagaimana yang  telah diregulasikan. Hal ini menunjukkan  bahwa perbedaan penerapan usia perkawian  di berbagai negara tersebut tergantung  kepada mazhab fikih yang dianut dijadikan  pedoman Negara.[10]

3.      Perihal Perkawinan Beda Agama, bagaimana ketentuan hukum di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan Mesir? Berikan Argumentasi dan Dasar Hukum
Jawab :
a.      Indonesia
Pasal 2 ayat (1) undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 mengatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam penjelasannya selanjutnya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan undang-undang dasar 1945.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan pula bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dengan demikian, menurut penjelasan pasal-pasal tersebut bahwa setiap perkawinan yang  dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi
b.      Malaysia
Larangan perkawinan beda Agama di Malaysia didasarkan pada ketentuan yang termuat dalam seksyen 51 Akta pembaharuan UU ( Perkawinan dan Perceraian) 1976 sebagaimana disebutkan :
Jika salah satu pihak kepada suatu perkahwinan telah masuk Islam, pihak yang satu tidak masuk Islam boleh untuk perceraian. Dengan syarat bahwa tiada suatu permohonan dibawah syeksen boleh diserahkan sebelum tamat tempo tiga bulan dari tarikh masuk Islam itu.
c.       Brunei
Tidak ditemukan aturan mengenai larangan nikah beda agama dalam peraturan Mahkamah Kadi Penggal 77.
d.      Singapura
Singapura merupakan salah satu negara yang memperbolehkan perkawinan beda agama. Singapura
merupakan negara sekular menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama.
Mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Singapura juga tidak memiliki agama nasional.
Persyaratan utama untuk dapat melangsungkan perkawinan di Singapura adalah yang bersangkutan harus tinggal di singapura minimal 20 hari berturut-turut. Setelah memenuhi persyaratan tersebut, calon pengantin baru mulai dapat mengurus administrasinya secara on line di gedung Registration for Merried. Pemerintah Singapura memberikan layanan perkawinan dengan pendaftaran on line baik bagi warga negara Singapura, permanent resident, maupun foreigner 100%.[11]
e.       Mesir
Di Mesir, perkawinan beda agama diatur sesuai hukum Islam, yakni menurut pendapat terkuat dalam madzhab hanafi. Terdapat lembaga pencatat perkawinan yang khusus mencatatkan perkawinan campuran, termasuk perkawinan beda agama, yaitu Maktab at-Tausiq. Kemudiab lembaga eradilan perkara keluarga menyatu di Mahkamah al-Usrah, tidak ada perbedaan antara pasangan yang seagama dan pasangan yang berbeda agama.[12]
4.      Bagaimana Fiqih masuk dalam hukum perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia. Berikan Contoh konsep fiqih dan ketentuan hukum perkawinan di Negara tersebut.
Jawab :
a.      Indonesia
Lebih jauh nuansa-nuansa pembaharuan hukum Islam di Indonesia dapat dicermati dalam beberapa bidang, yaitu dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Dalam bidang  perkawinan, misalnya, terdapat beberapa bentuk pembaharuan  seperti pencatatan perkawinan, batas usia kawin, persetujuan calon  mempelai, izin poligami, perceraian di depan sidang pengadilan,  dan semua tindakan hukum yang merupakan upaya-upaya untuk mewujudkan perkawinan dengan segala akibat hukumnya.
KHI misalnya, telah mengatur secara lengkap tentang  rujuk, baik yang bersifat normatif, teknis maupun administratif,  yaitu diatur dalam Bab XVIII Pasal 163, 164, 165 dan 166, sedang  secara teknis diatur dalam Pasal 168 dan 169. Persoalan yang bukan  bersifat normatif tidak disinggung dalam Undang-undang No. 1  Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.  Sedangkan yang bersifat teknis dan administratif, KHI hanya  memperkuat ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Permenag  No. 3 Tahun 1975, bahkan hampir semua kata yang dipakai sama.  Hal ini dapat dimaklumi karena KHI dibuat untuk memperkokoh  atau mencari rujukan undang-undang atau peraturan-peraturan  sebelumnya dan menambah yang belum ada. Oleh karena itu,  materi KHI tidak hanya terbatas pada satu mazhab, tetapi beberapa mazhab. Pasal 163 (2) point b menegaskan bahwa rujuk tidak  dapat dilakukan jika perpisahan itu terjadi disebabkan zina yang  pelaksanaannya berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Pasal  ini juga menegaskan bahwa rujuk dapat terjadi dengan putusnya  perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan Agama dengan satu  atau beberapa alasan. Dalam hal ini, KHI tidak menyebutkan  secara rinci, selain zina dan  khulu’ . Alasan-alasan ini bersifat  umum, yakni dapat berwujud istri tidak diberi nafkah, istri  selalu disakiti, suami pergi tanpa ada berita dan suami dipenjara.  Tentang bunyi Pasal 163 (2) point b, kompilasi berbeda dengan  kebanyakan ulama. Menurut KHI, alasan yang dapat dimasukkan  ke dalam talak raj’i yang dapat dilakukan rujuk hanya talak yang diputuskan pengadilan karena suami tidak memberi nafkah, sebagaimana pendapat Hanafiyah.
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk  peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun  material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara  lain:
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan
Juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah  Undang-undang, antara lain:
1)      PP No.9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU  Hukum Perkawinan
2)      Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam  (yang mencakup hukum perkawinan, kewarisan, dan wakaf  Islam).[13]
b.      Brunei
Brunei Darussalam merupakan negara yang berdasar pada syari'at Islam. Konstitusi Brunei Darussalam berdasar aliran pada Ahlus Sunnah wal jama’ah dan bermazhab Syafi’i. Hal ini berdampak pada peraturan yang berlaku yang disandarkan pada fiqh Syafi'i di setiap aspeknya.  Namun demikian, dalam beberapa aturan hukumnya yang tidak diatur dalam hukum keluarga, warga Negara Brunei tetap mempunyai hak untuk memilih (takhayyur) atas beberapa mazhab fikih lain selain mazhab Syafi’i.[14]
Misalnya saja peraturan mengenai wali nikah, pada pasal 139 Penggal 77 disebutkan bahwa, Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan. Di samping itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja atau apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan alasan yang tidak masuk akal.
Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i, dimana seorang wanita yang mau menikah harus mendapatkan izin dari walinya. Demikian pula berlaku di Negara Brunei yang mengharuskan adanya wali dari sebuah pernikahan. Namun, tidak dijelaskan lebih jauh apakah keharusan adanya wali diperuntukkan bagi calon mempelai yang masih gadis saja, atau juga berlaku bagi seorang janda.
c.       Malaysia
Hukum perkawinan di Malaysia, kecuali Perlis, secara resmi menjadikan mazhab Syafi"i' sebagai anutan. Untuk memperkuat kedudukan mazhab Syafi'l', di beberapanegara bagian ditentukat1 bahwa orang Islam  yangt idak bennazhab Syafi'i dilarang tmtuk duduk di dalam majlis, sebagaimana tercemrin di dalam seksyen 5 (6) Majlis Agama Islam Negeri Johor. Majlis bertugas antara lain menyampaikan  fatwa.W alaupun  demikian,  ada  beberapa  aturan  yang tampaknya tidak sejalan dengan teks-teks fiqih Syafi'iyah, mungkin sebagian materinya telah diambil dari fiqih Hanafi, seperti yang diperlihatkan di dalam Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan, Act Tahun 1984. Sedangkan di pihak lain Kelantan telah mengambil sikap yang lebih konservatif. Negeri ini mempertahankan kemurnian mazhab Syafi'i.
Di Malaysia sumber terpenting adalah enakmen-enakmen, Akta dan Undang tmdang sebagai berikut: (a) Enakmen Keluarga Islam Nomor 4 Tahun 1984 ( Selangor); (b) Enakmen Keluarga Islam Nomor 3 Tahun 1987 (Pahang); (c) Enakmen Keluarga Islan1 Nomor 2 Tahun 1985 (Pinang); (d) Enakmen Keluarga Islam Nomor Nomor 7 Tahun 1983 (Negeri Sembilan); (e) Undang-undang Mahkamah Syariah Serawak Order 1991; (f) Akta 303 Tahtm 1984 (Wilayah Persekutuan), (g) Enakmen Keluarga Islam Nomor 1 Tahun 1983 (Kelantan), dan (h) Undang-undang Keluarga Islam nomor 13 Tahun 1984 (Perak).[15]

5.      Kenapa poligami di Tunisia menjadi hukum terlarang, sementara di Indonesia dan Arab Saudi memperbolehkan, apa makna filosofis dibalik ketentuan ini.
Jawab :
Dalam pasal 18 Undang-Undang hukum keluarga di Tunisia menyatakan:
a.       Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b.      Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957  yang berhubungan dengan aturan sipil  dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
c.       Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang  yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan  hukuman yang sama.
Undang-Undang di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat  Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q.S. an-Nisa [4] : 3).

 Ayat di atas telah dibatasi oleh ayat al-Qur’an itu sendiri yaitu:
         “ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “(Qs. An-Nisa’:129).
Dengan demikian, idealnya al-Quran adalah monogami, lebih dari itu syarat yang diajukan supaya suami berlaku adil terhapad istri-istrinya, hal seperti ini adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya.[16]
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: Pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan Kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.[17]
6.      Bagaimana konsep fiqh masuk dalam hukum perkawinan di Arab Saudi.
Jawab :
Dilihat dari segi hukum yang berlaku, bahwa semua aturan hukum yang berlaku di Arab Saudi itu harus sesuai dengan syariat Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah. Atau minimal aturan-aturan itu tidak kontradiksi dengan syariat Islam, seperti tradisi yang berkembang di masyarakat Saudi (‘urf/’adat). Kita akui bagi masyarakat Saudi sterilisasi adat sangat kuat dibandingkan dengan negara-negara lain, dan dari ketentuan ini tidak ada ketentuan lain. Karena itu, John L. Esposito mengatakan bahwa, “sekalipun bentuk kerajaan bukan lembaga yang bersifat Islam, tapi kerajaan itu diberi landasan Islam yang rasional bahwa seluruhnya, bahkan juga raja, tunduk kepada hukum Islam. Al-Qur’an dan syariat memberikan basis dan struktur fundamental bagi Negara: konstitusi, hukum, dan peradilan”.
Hukum keluarga (ahwal al-syakhshiyyah) dalam bidang hukum perkawinan negara Arab Saudi ternyata hingga sekarang ini masih belum tertulis (uncodified law), atau belum dikodifikasikan sebagaimana negara-negara muslim lainnya. Hukum perkawinan Saudi didasarkan pada kitab-kitab fiqih madzhab yang dianut resmi oleh negara, yakni madzhab Hanbali. Pelaksanaan perkawinan dan hal-hal lain yang terkait dengan hukum perkawinan seperti batas usia perkawinan, perwalian, poligami, perceraian (talak), rujuk, hak asuh anak akibat perceraian, dan kewarisan, pada umumnya ditangani oleh ulama, dan/atau institusi keagamaan setempat yang dianggap berkompeten menangani masalah keagamaan umat Islam.[18]



[1] Eko Setiawan, Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 2, Desember 2014, hlm. 139
[2] Fatah Hidayat, Dinamika Perkembangan Hukum Keluarga, AN NISA'A, VOL. 9, No. 2, Desember 2014, h., 4.
[3] Nafi’ Mubarok: Sejarah hukum Perkawinan Islam di Indonesia, AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 021, Nomor 02, Desember 2012. h,. 146-147
[4] Nafi’ Mubarok: Sejarah hukum Perkawinan Islam di Indonesia, AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 021, Nomor 02, Desember 2012. h,. 156
[5] Eko Setiawan, Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 2, Desember 2014, hlm. 144
[6] Miftahul Huda, Ragam Argumentasi Ketentuan Wali Nikah Dan Poligami (Studi atas Hukum Keluarga Negara-Negara Muslim Modern)
[7] Abdul Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,. 16-17.
[8] Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol.14 /No.1 /Juni 2014 hlm 8
[9] Ahmad Masfuful Fuad, Ketentuan Batas Minimal Usia Kawin: Sejarah, Implikasi  Penetapan Undang-Undang Perkawinan Petita, Volume 1  Nomor 1,  April 2016  hl  41
[10] Achmad Asrori, Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha  Dan Penerapannya Dalam Undang Undang Perkawinan Di Dunia Islam, Al-‘Adalah Vol. Xii, No. 4, Desember 2015, hl 40-41
[11] Badan Pembinaan Hukum Nasional(BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama ( Perbandingan Beberapa Negara), 2011, h., 44.
[12] Husnul Khitam, Skripsi Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Mesir, h., vii.
[13] Chamim Tohari, Fiqh Keindonesiaan : Transformasi Hukum Islam dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 15, Nomor 2, Desember 2015 hl. 426
[14] Mohammad Fairuzzabady, Hukum Islam di Dunia Islam Modern, h,. 6.
[15] Abdul Hadi, Disertasi: Fiqih Mazhab Syafi’I dalam Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, Yogyakarta, 11 Desember, 2000, h, 6.
[16] Jurnal Rhida Maulana, Juni 2017, h., .4
[17] Jurnal Rhida Maulana, Juni 2017, h., .5
[18] Zaelani, Abdul Qadir. Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013, h., 148

0 Comment:

Post a Comment

Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan