1. Bagaimana perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Mesir.
Jawab :
a.
Indonesia
Dalam
hukum keluarga di Indonesia perkawinan mendapatkan perhatian tersendiri. Secara
substantif, hukum perkawinan Indonesia merupakan penjabaran hukum perkawinan
dalam Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar
jika bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan,
termasuk dalam perkawinan.[1]
Secara
historis, perkembangan hukum keluarga Islam dapat dibagi menjadi 3 fase :
1)
Perkembangan dan Pembaharuan Hukum
Keluarga Islam Pra Penjajahan
Pada masa ini hukum
Islam terutama hukum keluarga sudah menjadi hukum yang berkembang dan menyatu
dalam keseharian umat Islam pada waktu itu. Hal ini dapat dilihat dari fakta
sejarah Kerajaan Banjar waktu itu.
Perkembangan
hukum Islam di Banjar semakin pesat terasa dengan keberadaan para mufti dan
qadhi yang bertugas sebagai penasehat kerajaan dalam bidang agama dalam
menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum keluarga dan perkawinan
dari rakyat yang berada di bawah pemerintahan kerajaan Banjar.[2]
2)
Perkembangan dan Pembaharuan Hukum
Keluarga Islam pada Masa Penjajahan
a.
Masa Penjajahan Belanda
Di masa
penjajahan Belanda hukum perkawinan yang berlaku adalah Compendium Freijer, yaitu
kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum Perkawinan dan hukum waris menurut
Islam. Sementara untuk Landraad di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium
tersendiri. Sedang untuk daerah Makassar oleh VOC disahkan suatu Compendium
sendiri. Pada masa ini hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat.
Selanjutnya,
muncul Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat (Ontwerp Ordonantie op de
Ingeschreven Huwelijken) bulan Juni tahun 1937, yang memberikan konsekwensi
hukum pada warga pribumi sebagai berikut:
·
Seorang laki-laki tidak
diperkenankan menikah dengan lebih dari satu orang isteri.
·
Sebuah hubungan perkawinan tidak
dapat putus kecuali dengan tiga sebab; meninggalnya salah satu pasangan,
perginya salah satu pasangan selama dua tahun lebih dan tidak diketahui kabar
tentangnya sementara pasangan lainnya mengadakan perkawinan lagi dengan orang
lain atas ijin pengadilan, dan adanya putusan perceraian dari pengadilan.
·
Setiap perkawinan harus dicatatkan
dalam catatan sipil.
Adanya Ordonasi
beserta tiga konsekwensinya di atas memunculkan banyak protes dari masyarakat,
khususnya umat islam, karena mempunyai konsekwensi yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam.
b.
Masa Penjajahan Jepang
Kebijakan
Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya.
Kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 undang-undang
bala tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya terdapat
perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut
“Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut
“kaikyoo kootoohoin”.[3]
3)
Masa Pasca Kemerdekaan
Setelah
merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di
antaranya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk.
Kemudian muncul
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka telah terjadi perubahan fundamental
terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) tidak berlaku lagi.[4]
Ditambah lagi dengan mencuat kepermukaan bermula dari diakuinya
peradilan agama (PA) secara resmi sebagai salah satu pelaksana “judicial power”
dalam negara hukum melalui Pasal 10 UndangUndang No. 14 Tahun 1970. Lebih
lanjut, kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisatorisnya telah diatur
dan dijabarkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Undang-Undang No. 3 Tahun
2006, yang mempunyai kewenangan mengadili perkara tertentu: (1) perkawinan, (2)
waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan
(9) ekonomi syari’ah, bagi penduduk yang beragama Islam.[5]
b.
Malaysia
Di Malaysia,
Islam dinyatakan sebagai agama resmi, namun demikian Negara menjamin bahwa
setiap kelompok agama berhak mengurusi masalahnya sendiri. Apabila orang
non-Islam dilindungi secara konstitusional dan legal, maka muslim berada
dibawah hukum Islam, dimana Sultan yang mengurus kepentingan mereka dan pengadilan
agama digunakan untuk mengawasi agama tersebut.Teks pasal yang berkenaan dengan
ini menyebutkan:
Hukum Islam
serta hukum pribadi dan keluarga dari orang-orang beragama Islam, termasuk
hukum Islam yang berkenaan dengan warisan, ada tidaknya warisan, pertunangan,
perkawinan, perceraian, perwalian, pemberian, pembagian harta benda dan
barang-barang yang dipercayakan, wakaf Islam, penentuan dan pengaturan dana
sosial dan agama, penunjukan wali dan pelembagaan orang-orang berkenaan dengan
lembaga-lembaga agama dan sosial Islam yang seluruhnya beroperasi di dalam
negara, adat Melayu, zakat fitrah, dan baitul mal atau pendapatan Islam yang
serupa dengan itu.
Jadi dalam
situasi ini Islam adalah agama negara sedangkan hukum Islam mengatur tingkah
laku orang-orang yang beriman, namun secara konstitusional kelompok agama lain juga
diberi kebebasan untuk melaksanakan agama mereka menurut kehendak mereka. Mayoritas
muslim di Malaysia adalah pengikut madzab Syafi’i, hal ini lebih jelas lagi dalam
praktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam
hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran madzab tersebut. Walau demikian
dalam realitasnya penentuan praktek hukum Islam ini harus atas kendali
SultanSultan yang memimpinnya mengingat Semenanjung Malaysia pada waktu itu
memang dikuasai beberapa kerajaan Islam yang dipimpin langsung oleh Sultan
seperti di kerajaan Johor, Malaka, Kelantan dan Trengganu.
Selama
penjajahan Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan
lokal yang berhubungan dengan praktek hukum Islam seperti pengadila syari’ah tentang
perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Keadaan seperti
ini berlanjut sampai Malaysia meraih kemerdekaannya. Setelah dapat melepaskan
diri dari Inggris dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah
banyak usaha untukmerespon masyarakat untuk membuat Undang-Undang Hukum
Keluarga seperti di Negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi UU
Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya seperti Kedah, Malaka, Negeri
Sembilan, Penang, Perlak, Perlis dan Selangor dengan administrasi UU hukum
muslim. Begitu juga di negara bagian Serawak dan Sabah di mana muslim
minoritas, tetap memberlakukan UU Mahkamah Melayu 1915.
Selama tahun
1983-1985 terjadi usaha untuk menyegarkan legislasi di Malaysia dalam bidang
Hukum Keluarga yang diterapkan di beberapa negara bagian. Undang-undang Hukum
Keluarga Islam 1984 ini berisi 135 pasal yang terbagi dalam 10 bagian.12 Usaha
penyeragaman UU Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan yang diketuai oleh
Tengku Zaid. Tugas komite ini adalah membuat draf UU Keluarga Islam. Setelah mendapat
persetujuan dari majelis raja-raja, draf ini disebarkan kepada negara bagian
untuk dipakai sebagai UU Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi
keseluruhan UU tersebut. Kelantan Misalnya melakukan perbaikan atas draf.
Akibatnya UU Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak seragam sampai
sekarang.
Perbedaan di
atas bisa saja diakibatkan masing-masing negara bagian mempunyai tujuan sendiri
dalam pembentukan UU-nya. Bagi Perlak, Selangor, Negeri Sembilan dan Akta
Wilayah pembentukan UU perkawinan daerah ini bertujuan untuk menguba beberapa
hal di bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara lain yang berhubungan
dengan kehidupan keluarga, maka pembentukan di sini hanya mengubah sebagian
saja. Sedangkan UU keluarga bertujuan untuk menyatukan UU yang berkaitan dengan
keluarga Islam dalam berbagai bidang dan perkara supaya menjadi lebih mengikat.
Berarti UU ini
bertujuan untuk membuat suatu peraturan yang komprehensif dan agar UU tersebut
dipatuhi dan diikuti. Sementara Kelantan selain untuk penyatuan juga untuk meperbaharui
UU yang ada. Akhirnya tujuan pembentukan Perundangan di bidang perkawinan di
Malaysia adalah untuk meninggikan status wanita dan mengubah peraturan hukum
syari’ah mengenai keluarga.[6]
c.
Brunei
Darussalam
Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei
ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei.
Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan
(1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul Jabbar (1619-1652 M).
Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada
Inggris setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang
membuat aturan :
1)
Bidang
kuasa civil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes
rakyat, kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat
negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
2)
Bidang
kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei
dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika
didalam sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau
didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya perjanjian tahun 1906. Dengan
perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk
campur tangan dalam urusan per-UU-an, Pentadbiran keadilan dan kehakiman,
masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.
Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara' dirasa tidak begitu
jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli
1906 yang isinya menuntut:
1)
Setiap
kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim setempat.
2)
Meminta
agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak, dipindah, dan
dilanggar selama-lamanya.
Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah
nomor satu dan ditindaklanjuti dengan
mengembangkan Mahkamah Syari'ah yang akan mengendalikan urusan-urusan agama
Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan
perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat
sebagai langkah untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan
wilayahnya.
Untuk seterusnya Mahkamah Syari'ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan
undang-undang Islam yang berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadat
(khusus) saja. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan
kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.
Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak,
seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan
undang-undang agama Islam yang dikenal dengan "Muhammadan’s Marriages and Divorce Enactement." Sampai yang
terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri
dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956.
Setelah tahun itu berturut-turut Undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai
tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967.
Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984,
undang-undang ini pun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping
namanya ditukar dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.
Undang-Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-Undang
Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya masih
sama dengan Undang-Undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi
No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur
hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage
and Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of Dependent di bagian VII
yang dimulai dari pasal 157-163. [7]
d.
Mesir
Kodifikasi dan pembaruan hukum keluarga terjadi
di Mesir pada tahun 1920. Ini ditandai dengan diundangkannya UU No 25/1920
mengenai hukum keluarga dan penjagaan (Law of Maintenance and Personal
Status/ Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyyah wa al-siyanah). Reformasi hukum di
Mesir ini terus terjadi secara berkelanjutan sehingga awal tahun 1950an.
Lembaga hukum di Mesir secara bertahap melakukan reformasi hukum yang
berpengaruh penting terhadap hukum keluarga (perkawinan dan waris). UU no 25
Tahun 1920 ini kemudian diikuti oleh undang-undang lain seperti UU No. 56/1923
mengenai batasan usia perkawinan, UU no. 25/1929 mengenai aturan perceraian dan
pertengkaran dalam rumah tangga, disusul oleh kitab undang-undang sipil/perdata
(civil code) tahun 1931, UU no. 77/1943 mengenai hukum waris, dan UU no
71/1946 mengenai hukum wasiat. Setelah itu, kurun waktu 1960an sampai 1970an,
berbagai peristiwa politik juga ikut menentukan terjadinya reformasi hukum
keluarga. Reformasi hukum keluarga pada tahun 1970an ditandai dengan
dikeluarkannya aturan undang-undang mengenai kewenangan kepada lembaga
peradilan memaksa fihak-fihak (suami) untuk membayar uang pemeliharaan kepada
isteri-isteri, janda-janda, anak-anak, ataupun orang tua pada tahun 1976.[8]
2. Kenapa dalam hukum perkawinan mesti
ada ketentuan umur menikah dan kenapa berbeda usia perkawinan antar Negara?
Jawab:
Mark E. Cammack mengutarakan masalah pengaturan usia minimal kawin
merupakan bagian dari tujuan Pemerintah untuk mengurangi problem-problem
perkawinan seperti pernikahan di bawah umur yang menghambat kemajuan negara.
Selain itu, proyek unifikasi hukum perkawinan ditujukan untuk persatuan
Indonesia ber-ideologi Pancasila, sekaligus untuk memenuhi tuntutan kemodernan
sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara lain.
Pada tahap selanjutnya dapat diketahui bahwa unifikasi hukum
keluarga Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh paham uniformisme yang
berkembang pada saat itu. Paham ini banyak dipegang oleh elite Pemerintahan
sebagai alasan penyatuan peraturan perkawinan secara nasional, karena sesuai
dengan cita-cita ideal negara merdeka.
Paham uniformisme bagian dari respons terhadap kemerdekaan dan
tuntutan modernitas, mengingat negara Indonesia menganut sistem hukum civil
law, bukan negara agama. Dengan demikian, hukum perkawinan khususnya pengaturan
usia minimal kawin menjadi unsur penting untuk pembangunan sistem hukum dan
pembangunan generasi ke depannya, terlebih lagi untuk memuluskan proyek
negarauntuk membawa masyarakat menuju bangsa modern, berbudaya, sesuai dengan
semangat Pancasila sebagai ideologi negara.
Pengaturan masalah usia minimal kawin yang tercantum dalam
UndangUndang Perkawinan merepresentasikan jalinan kohesif antara kepentingan
negara dan agama. Usia minimal kawin awalnya tidak terlembaga, kemudian muncul
dalam bentuk baru berupa peraturan yang harus disepakati secara nasional,
bahkan menjadi syarat perkawinan menurut negara.
Rencana awal penetapan batas usia minimal kawin bagi para pasangan
tertera pada Pasal 7 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973.
Dalam RUU tersebut dinyatakan batas minimal usia kawin adalah 21 tahun bagi
laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan.29 Namun demikian, karena RUU ini menuai
perdebatan yang rawan dengan konflik,30 akhirnya pembahasan mengenai hal ini
ditunda.
Gejolak dan potensi konflik berakhir setelah diresmikan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Standar usia minimal kawin
sebagaimanatercantum pada Pasal 7 ayat (1), pada akhirnya diturunkan dari 21
tahun menjadi 19 tahun bagi laki-laki.31 Negara menetapkan peraturan perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Jika terdapat penyimpangan di bawah ketentuan,
maka masyarakat berhak mengajukan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat
lain yang berkepentingan.32 Artinya, ketentuan usia minimal kawin dalam RUU
Perkawinan 1973 diubah oleh Undang-Undang Perkawinan yang disahkan Tahun 1974.[9]
Dalam beberapa
kasus di berbagai negara, tidak semua
perkawinan. Batas usia perkawinan sesuai dengan batas usia perkawinan tidak selamanya konsisten
dengan realitas masyarakat, artinya banyak
kasus perkawinan di bawah usia
perkawinan sebagaimana yang telah
disepakati di setiap negara.
Dapat dipahami
bahwa penerapan usia perkawinan di berbagai negara
bervariasi. bahkan di sebagian negara
memberlakukan usia perkawinan tidak
sesuai dengan batasan usia normal
perkawinan sebagaimana yang telah
diregulasikan. Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan penerapan usia perkawian di
berbagai negara tersebut tergantung
kepada mazhab fikih yang dianut dijadikan pedoman Negara.[10]
3. Perihal Perkawinan Beda Agama,
bagaimana ketentuan hukum di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan Mesir?
Berikan Argumentasi dan Dasar Hukum
Jawab :
a.
Indonesia
Pasal 2 ayat (1) undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 mengatakan
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Dalam penjelasannya selanjutnya disebutkan bahwa tidak ada
perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai
dengan undang-undang dasar 1945.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan pula bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaan. Dengan demikian, menurut penjelasan
pasal-pasal tersebut bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia
harus dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan
masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran
terhadap konstitusi
b.
Malaysia
Larangan perkawinan beda Agama di
Malaysia didasarkan pada ketentuan yang termuat dalam seksyen 51 Akta
pembaharuan UU ( Perkawinan dan Perceraian) 1976 sebagaimana disebutkan :
Jika salah
satu pihak kepada suatu perkahwinan telah masuk Islam, pihak yang satu tidak
masuk Islam boleh untuk perceraian. Dengan syarat bahwa tiada suatu permohonan
dibawah syeksen boleh diserahkan sebelum tamat tempo tiga bulan dari tarikh
masuk Islam itu.
c.
Brunei
Tidak ditemukan aturan mengenai larangan
nikah beda agama dalam peraturan Mahkamah Kadi Penggal 77.
d.
Singapura
Singapura merupakan salah satu negara
yang memperbolehkan perkawinan beda agama. Singapura
merupakan negara sekular menjadi netral
dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang
tidak beragama.
Mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat,
meskipun agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak melakukan
diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Singapura juga tidak memiliki
agama nasional.
Persyaratan utama untuk dapat
melangsungkan perkawinan di Singapura adalah yang bersangkutan harus tinggal di
singapura minimal 20 hari berturut-turut. Setelah memenuhi persyaratan
tersebut, calon pengantin baru mulai dapat mengurus administrasinya secara on
line di gedung Registration for Merried. Pemerintah Singapura memberikan layanan
perkawinan dengan pendaftaran on line baik bagi warga negara Singapura,
permanent resident, maupun foreigner 100%.[11]
e.
Mesir
Di Mesir, perkawinan beda agama diatur
sesuai hukum Islam, yakni menurut pendapat terkuat dalam madzhab hanafi.
Terdapat lembaga pencatat perkawinan yang khusus mencatatkan perkawinan
campuran, termasuk perkawinan beda agama, yaitu Maktab at-Tausiq. Kemudiab
lembaga eradilan perkara keluarga menyatu di Mahkamah al-Usrah, tidak ada
perbedaan antara pasangan yang seagama dan pasangan yang berbeda agama.[12]
4.
Bagaimana
Fiqih masuk dalam hukum perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia. Berikan
Contoh konsep fiqih dan ketentuan hukum perkawinan di Negara tersebut.
Jawab :
a.
Indonesia
Lebih jauh nuansa-nuansa pembaharuan hukum Islam di Indonesia dapat dicermati dalam beberapa
bidang, yaitu dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Dalam
bidang perkawinan, misalnya, terdapat
beberapa bentuk pembaharuan seperti
pencatatan perkawinan, batas usia kawin, persetujuan calon mempelai, izin poligami, perceraian di depan
sidang pengadilan, dan semua tindakan
hukum yang merupakan upaya-upaya untuk mewujudkan perkawinan dengan segala
akibat hukumnya.
KHI misalnya,
telah mengatur secara lengkap tentang
rujuk, baik yang bersifat normatif, teknis maupun administratif, yaitu diatur dalam Bab XVIII Pasal 163, 164,
165 dan 166, sedang secara teknis diatur
dalam Pasal 168 dan 169. Persoalan yang bukan
bersifat normatif tidak disinggung dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975. Sedangkan yang bersifat
teknis dan administratif, KHI hanya
memperkuat ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Permenag No. 3 Tahun 1975, bahkan hampir semua kata
yang dipakai sama. Hal ini dapat
dimaklumi karena KHI dibuat untuk memperkokoh
atau mencari rujukan undang-undang atau peraturan-peraturan sebelumnya dan menambah yang belum ada. Oleh
karena itu, materi KHI tidak hanya
terbatas pada satu mazhab, tetapi beberapa mazhab. Pasal 163 (2) point b
menegaskan bahwa rujuk tidak dapat
dilakukan jika perpisahan itu terjadi disebabkan zina yang pelaksanaannya berdasarkan putusan Pengadilan
Agama. Pasal ini juga menegaskan bahwa
rujuk dapat terjadi dengan putusnya
perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan Agama dengan satu atau beberapa alasan. Dalam hal ini, KHI
tidak menyebutkan secara rinci, selain
zina dan khulu’ . Alasan-alasan ini
bersifat umum, yakni dapat berwujud
istri tidak diberi nafkah, istri selalu
disakiti, suami pergi tanpa ada berita dan suami dipenjara. Tentang bunyi Pasal 163 (2) point b,
kompilasi berbeda dengan kebanyakan
ulama. Menurut KHI, alasan yang dapat dimasukkan ke dalam talak raj’i yang dapat dilakukan
rujuk hanya talak yang diputuskan pengadilan karena suami tidak memberi nafkah,
sebagaimana pendapat Hanafiyah.
Dalam kenyataan
lebih konkret, terdapat beberapa produk
peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum
Islam, antara lain:
UU No. 1 Tahun
1974 tentang Hukum Perkawinan
Juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah
Undang-undang, antara lain:
1)
PP
No.9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU
Hukum Perkawinan
2)
Inpres
No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(yang mencakup hukum perkawinan, kewarisan, dan wakaf Islam).[13]
b.
Brunei
Brunei
Darussalam merupakan negara yang berdasar pada syari'at Islam. Konstitusi
Brunei Darussalam berdasar aliran pada Ahlus
Sunnah wal jama’ah dan bermazhab Syafi’i.
Hal ini berdampak pada peraturan yang berlaku yang
disandarkan pada fiqh Syafi'i di setiap aspeknya. Namun demikian,
dalam beberapa aturan hukumnya yang tidak diatur
dalam hukum keluarga, warga Negara Brunei tetap mempunyai hak untuk memilih (takhayyur)
atas beberapa mazhab fikih lain selain mazhab Syafi’i.[14]
Misalnya saja peraturan mengenai wali nikah, pada pasal 139 Penggal
77 disebutkan bahwa, Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan
sangat diperlukan. Di samping itu, wali pengantin perempuan pun harus
memberikan persetujuan atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak
sebagai wali raja atau apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab
tidak menyetujui dengan alasan yang tidak masuk akal.
Aturan
perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i, dimana seorang wanita yang mau
menikah harus mendapatkan izin dari walinya. Demikian pula berlaku di Negara
Brunei yang mengharuskan adanya wali dari sebuah pernikahan. Namun, tidak
dijelaskan lebih jauh apakah keharusan adanya wali diperuntukkan bagi calon
mempelai yang masih gadis saja, atau juga berlaku bagi seorang janda.
c. Malaysia
Hukum
perkawinan di Malaysia, kecuali Perlis, secara resmi menjadikan mazhab
Syafi"i' sebagai anutan. Untuk memperkuat kedudukan mazhab Syafi'l', di
beberapanegara bagian ditentukat1 bahwa orang Islam yangt idak bennazhab Syafi'i dilarang tmtuk
duduk di dalam majlis, sebagaimana tercemrin di dalam seksyen 5 (6) Majlis
Agama Islam Negeri Johor. Majlis bertugas antara lain menyampaikan fatwa.W alaupun demikian,
ada beberapa aturan
yang tampaknya tidak sejalan dengan teks-teks fiqih Syafi'iyah, mungkin
sebagian materinya telah diambil dari fiqih Hanafi, seperti yang diperlihatkan
di dalam Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan, Act Tahun 1984.
Sedangkan di pihak lain Kelantan telah mengambil sikap yang lebih konservatif.
Negeri ini mempertahankan kemurnian mazhab Syafi'i.
Di Malaysia
sumber terpenting adalah enakmen-enakmen, Akta dan Undang tmdang sebagai
berikut: (a) Enakmen Keluarga Islam Nomor 4 Tahun 1984 ( Selangor); (b) Enakmen
Keluarga Islam Nomor 3 Tahun 1987 (Pahang); (c) Enakmen Keluarga Islan1 Nomor 2
Tahun 1985 (Pinang); (d) Enakmen Keluarga Islam Nomor Nomor 7 Tahun 1983
(Negeri Sembilan); (e) Undang-undang Mahkamah Syariah Serawak Order 1991; (f)
Akta 303 Tahtm 1984 (Wilayah Persekutuan), (g) Enakmen Keluarga Islam Nomor 1
Tahun 1983 (Kelantan), dan (h) Undang-undang Keluarga Islam nomor 13 Tahun 1984
(Perak).[15]
5.
Kenapa
poligami di Tunisia menjadi hukum terlarang, sementara di Indonesia dan Arab
Saudi memperbolehkan, apa makna filosofis dibalik ketentuan ini.
Jawab :
Dalam pasal 18 Undang-Undang hukum keluarga di Tunisia
menyatakan:
a. Poligami
dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya
benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama
satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b. Siapa
yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun
1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan
kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang
sama.
c. Siapa
yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut
ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.
Undang-Undang di atas secara tegas menetapkan bahwa
poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada
ayat Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah
dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada
istri-istrinya yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:
“ Dan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q.S. an-Nisa
[4] : 3).
Ayat di atas
telah dibatasi oleh ayat al-Qur’an itu sendiri yaitu:
“ Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “(Qs.
An-Nisa’:129).
Dengan demikian, idealnya al-Quran adalah monogami,
lebih dari itu syarat yang diajukan supaya suami berlaku adil terhapad
istri-istrinya, hal seperti ini adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan
tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya.[16]
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang
poligami: Pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya
boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang
pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan Kedua, bahwa
syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri,
sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW. yang mampu berlaku adil
terhadap istri-istrinya.[17]
6.
Bagaimana
konsep fiqh masuk dalam hukum perkawinan di Arab Saudi.
Jawab :
Dilihat dari segi hukum yang berlaku, bahwa semua aturan hukum yang berlaku
di Arab Saudi itu harus sesuai dengan syariat Islam, yakni al-Qur’an dan
sunnah. Atau minimal aturan-aturan itu tidak kontradiksi dengan syariat Islam,
seperti tradisi yang berkembang di masyarakat Saudi (‘urf/’adat). Kita akui
bagi masyarakat Saudi sterilisasi adat sangat kuat dibandingkan dengan
negara-negara lain, dan dari ketentuan ini tidak ada ketentuan lain. Karena
itu, John L. Esposito mengatakan bahwa, “sekalipun bentuk kerajaan bukan
lembaga yang bersifat Islam, tapi kerajaan itu diberi landasan Islam yang
rasional bahwa seluruhnya, bahkan juga raja, tunduk kepada hukum Islam.
Al-Qur’an dan syariat memberikan basis dan struktur fundamental bagi Negara:
konstitusi, hukum, dan peradilan”.
Hukum keluarga (ahwal al-syakhshiyyah) dalam bidang hukum perkawinan negara
Arab Saudi ternyata hingga sekarang ini masih belum tertulis (uncodified law),
atau belum dikodifikasikan sebagaimana negara-negara muslim lainnya. Hukum
perkawinan Saudi didasarkan pada kitab-kitab fiqih madzhab yang dianut resmi
oleh negara, yakni madzhab Hanbali. Pelaksanaan perkawinan dan hal-hal lain
yang terkait dengan hukum perkawinan seperti batas usia perkawinan, perwalian,
poligami, perceraian (talak), rujuk, hak asuh anak akibat perceraian, dan
kewarisan, pada umumnya ditangani oleh ulama, dan/atau institusi keagamaan
setempat yang dianggap berkompeten menangani masalah keagamaan umat Islam.[18]
[1] Eko Setiawan,
Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume
6 Nomor 2, Desember 2014, hlm. 139
[2] Fatah Hidayat,
Dinamika Perkembangan Hukum Keluarga, AN NISA'A, VOL. 9, No. 2, Desember 2014,
h., 4.
[3] Nafi’ Mubarok:
Sejarah hukum Perkawinan Islam di Indonesia, AL-HUKAMA The Indonesian Journal
of Islamic Family Law Volume 021, Nomor 02, Desember 2012. h,. 146-147
[4] Nafi’ Mubarok:
Sejarah hukum Perkawinan Islam di Indonesia, AL-HUKAMA The Indonesian Journal
of Islamic Family Law Volume 021, Nomor 02, Desember 2012. h,. 156
[5] Eko Setiawan,
Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume
6 Nomor 2, Desember 2014, hlm. 144
[6] Miftahul Huda,
Ragam Argumentasi Ketentuan Wali Nikah Dan Poligami (Studi atas Hukum Keluarga
Negara-Negara Muslim Modern)
[7] Abdul Qadir
Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara
Muslim Modern, (Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,.
16-17.
[8] Ijtihad, Jurnal
Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol.14 /No.1 /Juni 2014 hlm 8
[9]
Ahmad Masfuful Fuad, Ketentuan Batas Minimal Usia Kawin: Sejarah, Implikasi Penetapan Undang-Undang Perkawinan
Petita, Volume 1 Nomor 1, April 2016
hl 41
[10]
Achmad Asrori, Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha Dan Penerapannya Dalam Undang Undang
Perkawinan Di Dunia Islam, Al-‘Adalah Vol.
Xii, No. 4, Desember 2015, hl 40-41
[11] Badan
Pembinaan Hukum Nasional(BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia,
Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama ( Perbandingan Beberapa Negara),
2011, h., 44.
[12]
Husnul Khitam, Skripsi Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Mesir, h., vii.
[13]
Chamim
Tohari, Fiqh
Keindonesiaan : Transformasi Hukum Islam dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, ANALISIS:
Jurnal Studi Keislaman, Volume 15, Nomor 2, Desember 2015 hl. 426
[14] Mohammad Fairuzzabady, Hukum Islam di Dunia Islam Modern, h,.
6.
[15]
Abdul Hadi, Disertasi: Fiqih Mazhab Syafi’I dalam Peraturan Perundang-Undangan
tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, Yogyakarta, 11 Desember,
2000, h, 6.
[16] Jurnal Rhida
Maulana, Juni 2017, h., .4
[17] Jurnal Rhida
Maulana, Juni 2017, h., .5
[18] Zaelani, Abdul
Qadir. Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, Bandar Lampung : Anugrah
Utama Raharja (AURA), 2013, h., 148
0 Comment:
Post a Comment
Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan